Delapan

1.4K 186 4
                                    

Dinda yang dimaksud akan dinikahi Satria adalah anak dari atasan tempat  pria itu bekerja. Tiga bulan lalu Satria memang memberitahu bahwa ia diterima bekerja di sebuah BUMN yang masih bertempat di Bandung.

Dinda adalah putri bungsu direktur di perusahaan tersebut. Entah mengapa, Laras tidak kaget dengan betapa mudahnya Satria berpindah ke lain hati.

Sebenarnya pria itu memaksa untuk mengantar Laras pulang ke kosannya. Hanya saja perempuan itu menolak dengan halus. Beralasan, bahwa setelah ini dia masih ada acara dengan teman- temannya dari kantor lama.

Laras berjalan sendirian di atas trotoar sambil merenungi nasibnya yang malang. Satu kesalahan membuat terancam kehilangan banyak hal. Itu mengapa sebabnya, guru mengajinya dulu mewanti- wanti bahwa zina itu dilarang. Ternyata nikmatnya memang hanya sesaat, sengasaranya seumur- umur.

Langit memerah di ufuk barat. Matahari akan kembali ke peraduannya, sementara bunyi klakson dan asap kendaraan serta panas yang berasal dari permukaan aspal jalan sisa siang tadi, tidak membuat perempuan itu menghentikan langkahnya. Bahkan, ia sendiri juga tak tahu, ke mana arah tujuannya petang itu.

Suara azan yang berkumandang terdengar saling bersahutan. Langkah Laras berhenti di perempatan traffic lights, ketika ia mendengar suara yang sangat familier. Laras kaget kemudian menoleh. Celingukan mencari sumber suara.

Ditemukannya mobil Alphard dan wajah Pak Gun di kursi kemudi. Tangan pria itu melambai- lambai heboh.

***

Mobil menggelinding ke arah kos Laras di kawasan Kampung Melayu. Selama perjalanan itu, tidak satu orang pun membuka mulut. Ketiga penumpangnya diam dengan pikiran masing- masing.

Ketika mobil memasuki kawasan padat penduduk, Laras meminta diturunkan di depan gang saja. "Gang situ cuma muat untuk satu mobil aja sih, Pak. Entar pas mau keluar malah Pak Gun kerepotan!"

"Wah tenang, Mbak Laras! Saya bisa dibilang kenal semua wilayah di sini!" Pak Gun menyahut dengan jemawa. "Maklum lah, pengalaman jadi sopir bikin saya kudu hafal jalan sama daerahnya!"

Laras akhirnya hanya bisa mengalah saat mobil itu memasuki gang sempit yang memang hanya muat untuk dilewati satu mobil dan satu motor. Lebih- lebih, di ujung gang itu adalah jalan buntu. Mau tak mau, mobil segede gaban ini harus putar balik.

Laras turun tepat di depan gerbang kosnya, saat para penghuni kos putra seberang sedang nongkrong di depan. Mereka bersiul ketika mendapati bahwa Laraslah yang turun dari mobil mewah tersebut.

Dan meski merasa risi, Laras tetap menyapa mereka satu- persatu sebelum masuk ke indekosnya. Mobil itu baru pergi ketika sosok Laras sudah tak tampak lagi.

***

Memasuki bulan ketiga masa kehamilannya, gejala yang menyusahkan hidup Laras, mulai muncul.

Ia mulai kerap menderita pusing pagi- pagi saat bangun tidur. Untuk mengatasinya, Laras membuat segelas besar teh hangat manis dan makan beberapa keping biskuit. Laras mulai tidak menyukai makanan warteg lagi.

Bisa dibilang, anak dalam kandungannya itu mewarisi selera mahal dari bapak biologisnya.

Laras sebetulnya bisa memasak, tapi karena ia hanya tinggal seorang diri saja, membeli lauk matang di warteg  atau watung makan padang jadi opsi yang lebih murah. Dia juga jadi sering membawa camilan berupa buah- buahan seperti jeruk dan anggur jenis red globe. Hingga teman-temannya mengatainya seperti nenek- nenek. "Li tahu, nggak? Zaman dulu kalau lihat karnaval, nenek gue sering bawa jeruk sama minuman air mineral!" ini komentar Fitri dari admin.

"Iya. Hari gini jarang banget kayaknya lihat orang makan jeruk ya? Mereka sih maunya langsung salad buah. Meski isinya cuma semangka melon, semangka melon!" imbuh Yunita.

Miss Dandelion Where stories live. Discover now