Tujuh

1.3K 195 6
                                    

"Kamu perlu saya bawain bantal sama guling?" Suta bertanya dengan nada tajam dan dingin, ketika melihat Laras baru kembali dari kamar mandi  dengan wajah pucat.

Karena memang bersalah, perempuan itu hanya menggumamkan permintaan maaf pada atasannya. "Bapak butuh saya?"

"Materi rapat buat departemen barang non fashion, sudah kamu selesaikan?"

"Maaf, Pak. "

"Kamu mau kerja atau bikin drama? Kalau nggak niat, nggak usah melamar kerja!" bentak Suta berang.

Entah mengapa, Laras merasa belakangan ini Suta jauh lebih sensitif dan gampang marah. Sepertinya, tidak ada staf kantor yang  bisa selamat ke luar dari ruangan pria itu.

Raut masam, sinis, berang, gusar, dingin, bercampur jadi satu di wajah, yang sebenarnya amat menawan itu, andai saja tidak selalu ditekuk seribu  setiap berhadapan dengan seseorang.

"Saya akan kerjakan sekarang, Pak." Ujar Laras. Tanpa perasaan jengkel sama sekali. Karena dia tahu, bahwa ia bersalah. Belakangan, Laras lebih sering melamun dan menangis diam- diam. Pekerjaannya terbengkalai. Moodnya kadang baik. Kadang terjun bebas tanpa parasut.

Begini susahnya jadi orang hamil. Apalagi dia tidak punya suami. Sembilan bulan, penderitaan ini harus ditanggungnya sendiri. Rasa sesal tak ubahnya seperti ketinggalan kereta.

***

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Laras turun ke bawah untuk membelikan makan siang bagi Suta. Perempuan itu memilih iga bakar madu, karena menurut Bu Rosmala, Suta menyukai makanan manis.

Laras sendiri memilih makan nasi bakar di pantri setelah menyiapkan makanan untuk Suta.

"Wah, beli nasi bakar di mana tuh?" Chandra yang adalah manajer Ranjana di Tangerang, tiba- tiba menyelinap masuk ke pantri. "Enak banget kayaknya!" tanpa permisi, Chandra sudah menarik sebuah kursi dan duduk di hadapan Laras.

"Eh, Mas Chandra. Makan, Mas?"

"Iya, lanjutin aja."

"Habis ketemu Pak Suta?"

"Enggak. Baru mau ketemuan habis jam makan siang ini." Chandra menjawab sambil lalu. Pria itu fokus mengamati Laras, yang hari itu mengenakan atasan kemeja lengan panjang warna peach dan rok A line warna putih tulang. Rambutnya ia ikat ekor kuda, karena siang itu Jakarta panas sekali. Dan juga karena supaya gampang saat makan.

"Lo asli mana sih, Ras? Bukan asli Jakarta ya? Gue  nebaknya sih lo dari Jawa ya?"

Laras tersenyum. "Dari Wates. DIY. Pernah dengar?"

Chandra menggeleng dengan cengiran lebar di wajahnya. "Nggak pernah dengar." Laras sudah menduganya. Kebanyakan, orang pasti tahunya hanya kota Yogyakarta. Atau paling jauh Gunung Kidul, yang geliat pariwisatanya mulai tumbuh pesat.

Padahal Daerah Istimewa Yogyakarta masih memiliki beberapa wilayah seperti Sleman, Bantul, Kulon Progo. Wates sendiri adalah  ibu kota dari Kabupaten Kulon Progo.

"Emang lo nggak takut, kerja di Jakarta sendirian?" tanya Chandra lagi. Entah karena betulan ingin tahu, atau karena iseng saja dari pada tidak tahu harus ngomong apa.

"Saya udah dua tahun di Jakarta, Mas. Lagian saya seneng kok. Dapat banyak oengalaman. Mas sendiri asli Jakarta emang?"

"Gue sih aslinya Ciputat sono sih. Asli Betawi aja. Habis anak cowok sendiri sih. Nyokap nggak bolehin gue kerja jauh- jauh. Padahal gue juga kepingin ke luar dari Jakarta. Nggak ngendon mulu di sini. Harusnya, sih, gue ke Jogja aja ya? Kalau tahu ceweknya cakep- cakep dan ramah kayak elo gini. Nyenengin banget!" Chandra tersenyum- senyum menggoda.

Miss Dandelion Where stories live. Discover now