Dua Puluh

1.6K 235 13
                                    


"Jadi lo kerja di Ranjana?" Meita bertanya. "Udah sejak kapan, Ras?"

"Belum lama sih, Mei. Gimana keadaan kantor sekarang? Denger- denger, Pak Reagan sama Sisil ya?" Laras balik bertanya.

Ia masih takjub dengan pertemuannya dengan Meita tempo hari Di warung  soto Betawi. Dari pertemuan itu, keduanya sepakat untuk menyisihkan waktu berdua saja dan bertemu secara pribadi Di tempat ini.

Di HSS Goldeneye, Laras memang paling akrab sama Sisil dan Meita. Mungkin, hal itu disebabkan karena keduanya punya sifat yang sama. Mereka  bertiga tak terlalu ceplas- ceplos seperti Nadya atau Yuna. Dan tentu saja solid dengan satu sama lain.

Laras, Sisil, dan Meita, masih menjunjung tinggi sikap tenggangrasa.

Dulu, setelah peristiwa di apartemen Gatra terjadi, Laras ingat langsung meluncur ke kosan Sisil. Cuma perempuan itu yang ia percayai untuk memegang rahasianya, bahwa ia telah tidur dengan bosnya.

"Iya." Suara Meita seperti menggaung dari tempat yang jauh. Siang itu, mereka janji bertemu di restoran Kembang Lawang, yang berada di cabang Meruya, Jakarta  Barat. Sengaja mereka mencari tempat yang jauh dari lokasi kantor masing- masing. "Lo tahu dari?"

"Kapan hari, ketemu Dito. Nggak sengaja waktu itu. Elo sendiri gimana? Tambah kurus aja."

"Sisil emang udah balik ke Semarang sih. Katanya, nggak bakalan balik ke kantor lagi. Karena bulan depan dia married sama Reagan. " Terang Meita. "Kalo gue, seperti yang lo lihat sendiri. Gue baik- baik aja. "

Seketika bola mata Laras membulat penuh. Matanya yang sudah belok, semakin lebar. Tentu saja ia pantas kaget. Dulu, Sisil tidak pernah berpikir sampai ke ranah itu. Ngurusin anak bos saja susahnya minta ampun. Apalagi ngurusin si Bapak yang kabarnya mirip singa itu.

Apalagi, dia selalu mengeluhkan sikap Bu Devia yang semacam memandang sebelah mata pada Sisil. Repot nggak sih punya mertua model begitu? Tak terbayang oleh Laras dia bisa menghadapi perempuan beracun macam Bu Deviana Senoadji itu.

"Aku nggak kebayang, Sisil bisa sampai sejauh itu." Laras tercenung. "Maksudku.... ya kamu tahulah, Mei, keluarga Senoadji itu kayak gimana? Aku aja suka agak gimana gitu kalo bertatap muka sama mereka."

"Termasuk sama Pak Gatranya?" alis Meita berjinjit. Bermaksud menggoda sahabatnya itu.

"Tapi untung saja Sisil udah pegang kartu AS. Keegan itu lengket banget sama dia. Bu Deviana nggak bisa berkutik. Karena dia sendiri juga udah kadung lengket sama Kee. Daripada dimusuhin sama cucu kesayangan ya, kan? Orang Kee yang mau punya Mama Sisil kok! " terang Meita, seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Laras.

"Untung aja."

"Sekarang orang kantor pada ngeributin gosip kalo Pak Nares mau dijodohin sama Daya,"

"Daya?" ulang Laras tak percaya. "Dayana adik tirinya Pak Reagan?"

"Yep!"

"Kok bisa, sih?" Laras tak bisa mencegah pupilnya melebar menanggapi semua cerita yang dibawa Meita. Pintu ruangan VVIP yang mereka tempati saat itu terbuka. Dua orang pramusaji mengantarkan pesanan minuman dan makanan pembuka yang mereka pesan.

Laras hanya bisa menatap iri pada gelas jumbo berbentuk jar milik Meita yang berisi kunyit- asam yang berkondensasi. Sementara dirinya hanya bisa puas dengan jeruk murni tanpa es.

Untuk makanan pembuka mereka memesan tahu walik. Lalu untuk makanan berat, mereka sepakat untuk memesan ayam goreng kremes komplit dengan sambal terasi dan urap sayur matang, lalu ada tahu tempe dan sayur asem. Mereka juga memesan bugis mandi sebagai makanan penutup.

Miss Dandelion Where stories live. Discover now