Tiga Puluh

1.7K 281 19
                                    

Sepanjang pulang dari rumah Rosmala, Laras tidak banyak bicara. Ia hanya diam saja. Bahkan, beberapa kali tertidur di dalam mobil. Juga tidak menanggapi gurauan yang dilontarkan oleh Mbak Ermin atau Pak Gun.

Diam- diam Suta meliriknya. Bertanya- tanya dalam hati, apa yang terjadi dengan Laras. Biasanya, istrinya itu selalu bersemangat untuk menimpali obrolan pasukan rumah Suta. Tapi kali ini, Laras lebih sering diam. Lebih banyak melempar tatapan ke luar jendela.

***

Sesampainya di rumah, mereka kembali berkutat dengan aktifitas masing- masing. Suta dengan pekerjaannya yang menumpuk dan posisinya yang kini terancam.

Elida bolak- balik mendatanginya untuk mengantarkan teror. "Di bawah kepemimpinan elo, Ranjana hampir kehilangan cabangnya yang di Pluit. Gue dengar, ada juga satu cabang di Lampung yang bermasalah." Pagi- pagi, tepatnya pukul sepuluh, Elida sudah menerobos masuk ke ruangan Suta.

Tanpa dipersilakan, kakak tiri Suta itu duduk seperti seorang ratu di singgasana, di atas sofa.

"Sebaiknya elo hati- hati." Elida mencondongkan tubuh rampingnya yang terbalut terusan Chanel warna putih. Rambutnya digelung dengan ketat di belakang kepala. "Gue memang perempuan. Tapi sekarang ini, gue sudah mulai banyak dukungan untuk menggantikan posisi elo,"

"Aku nggak masalah kalo Kak Elida mau gantiin posisiku di sini. Aku dengan senang hati akan memberikan kursi ini buat Kak Elida." Suta menjawab tenang.

Seperti yang dikatakan Elida barusan, belakangan ini memang banyak banget masalah yang mampir ke Ranjana. Kecurangan di toko Pluit belum menemukan titik terangnya. Bisa saja Suta langsung menyeret Wirya ke pihak yang berwajib, tapi jika berita ini sampai tersebar ke publik, maka, reputasi Ranjana akan memburuk di mata banyak orang.

Mereka akan berpikir bahwa Ranjana adalah perusahaan yang kesehatannya patut dipertanyakan. Meski saham- sahamnya masih dimiliki keluarga besar Wiratsana, namun Suta tetap tidak ingin ambil risiko.

Sejak dulu, Elida bermimpi untuk menjadi pemegang posisi tertinggi di perusahaan rintisan Gandhik Wiratsana itu. Hanya saja, karena dia anak perempuan yang kadang belum bisa mengatur emosi, Gandhik sudah bermusyawarah bersama seluruh pemegang saham untuk melimpahkan tanggungjawab itu pada Suta.

Suta secara emosional dinilai lebih stabil.

Saat itu, Elida mengamuk bukan main. Berteriak- teriak di kantor Wiratsana, mengatakan bahwa keluarganya akan menyesal karena menyerahkan perusahaan di tangan seorang anak haram!

Suta saat itu tidak berani sakit hati. Dia tidak pernah merasa membenci Elida sebagai kakak. Walau perlakuan perempuan itu padanya, atau pada Rosmala tidak pernah ada baik- baiknya.

Yang Suta inginkan saat itu adalah tetap tinggal di London. Dekat dengan Felisha yang saat itu bekerja sama dengan Elie Saab di Paris.

"Gue nggak mau terkesan kayak ngambil permen dari anak kecil."

"Jadi maunya Kak Elida itu bagaimana?"

"Aku akan ambil alih satu cabang di Gading- Serpong,"

"Untuk itu kita harus musyawarah lagi. Ini nggak semudah memberikan permen pada anak umur empat!"

Seketika itu juga, ekspresi di wajah Elida berubah. Matanya mendelik tajam, rahangnya mengatup rapat. "Maksudnya apa elo berani ngomong begitu?!" salaknya buas. Ia bangkit berdiri dengan gestur menantang sang adik, yang sayangnya tetap duduk dengan tenang di kursinya.

"Aku hanya menanggapi apa yang Kak Elida usulkan ke aku."

"Sialan lo, Suta! Brengsek!" umpatnya penuh dengan emosi yang membara di sepasang matanya. "Pertama-tama, ibu lo yang perek itu godain bokap gue sampe hamil elo!" bentaknya. "Lalu sekarang lo dengan seenaknya aja mau ngambil apa yang seharusnya bokap kasih ke gue? Anjing  kayak lo tuh cocoknya mengais makanan di tong sampah, Suta! Lo sama nyokap lo yang pelacur itu, nggak pantas berada di tempat yang sekarang!" jeritnya, sebelum ke luar dari ruangan dan menbanting pintu dengan keras dan kasar. Hingga jendela- jendela, pintu bahkan meja, bergetar oleh bantingan pintu itu.

Miss Dandelion Where stories live. Discover now