Tiga Puluh Empat

1.6K 383 57
                                    


"Eneng? Ya Ampun, Neng, kok malam- malam begini kamu teh berkeliaran sendiri?" Bunda Intan yang membukakan pintu pagar dalam balutan mukena warna cokelat itu langsung menyongsong Laras dan mengajaknya masuk.

Laras  yang tadi hanya mematung di depan pintu pagar, mengekor seperti anak ayam.

Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Laras bisa sampai ke sini karena satpam kompleks rumah Suta membantunya untuk menelepon taksi yang beroperasi 24 jam.

Dua satpam yang mengenalinya terheran- heran melihat Laras berjalan sendirian saat hari mulai menjelang fajar. Mereka pun juga sempat bertanya- tanya alasan Laras pergi sendirian tanpa Danu atau Pak Gun.

"Nggak apa- apa, Pak. Tolong kalo Pak Fikri mau bantu, pesankan saya taksi saja. Saya mau ke rumah tante di Pejaten." Kata Laras.

Karena melihat wajah perempuan itu yang muram dan hampir menangis, satpam berusia pertengahan tiga puluh itu tak banyak bertanya. Ia segera menelepon perusahaan taksi 24 jam yang diminta Laras.

Taksi warna hijau jeruk nipis itu meluncur tiga puluh menit kemudian.  Sebelum naik, Laras berpesan supaya Pak Fikri jangan berkata apa - apa kalau ada yang menanyakan ke mana ia pergi.

Pak Topo, satpam yang lebih senior segera mengangguk, setelah Laras menyelipkan dua lembar seratus ribuan ke tangan Pak Fikri.

"Kira- kira Bu Laras itu kenapa ya, Pak Topo. Mukanya sedih begitu. Padahal, kan dia baru nikahnya sama Pak Suta."

"Huss!" Pak Topo menghardik. "Itu urusan orang gedean, Fikri. Lagi pula kalo Bu Laras maunya begitu ya sudah. Biar mereka selesaikan urusan mereka sendiri. Yang penting, kita udah kawal Bu Laras dengan selamat naik taksi Jeruk Nipis yang aman itu!"

Pak Fikri mengangguk- angguk.

"Lagian wajar, kalo rumah tangga itu ada ribut- ributnya dikit, Fik. Kalo udah berhenti ribut itu namanya udah nggak ada gairahnya. Tuh liat, anak- anak gue pada demen tuh nontonin Tom & Jerry, sebab mereka nggak berhenti ribut. Kalo berhenti tamat tuh kartunnya!"

***

"Maaf saya ngerepotin Bunda Intan,"

"Saya mah jam segini udah bangun, Neng. Salat malam. Soalnya meuni kangen pisan Bunda teh sama Rania. "  Bunda Intan membawa Laras ke kamar tamu.

Rumah bercat putih dua lantai yang lumayan besar itu punya delapan kamar. Tiga kamarnya dipakai oleh para kru katering Bunda Intan. Letaknya ada di belakang rumah. Sementara paviliun diubah menjadi dapur kotor raksasa.

Kamar tamu itu terletak di lantai satu,  berada di samping tangga menuju lantai dua. "Bunda bikin teh anget buat kamu. Sama masih ada bolu ketan hitam kalau Neng Laras mau."

"Nggak usah repot, Bunda. Saya kalo boleh cuma mau tinggal sampai pagi. Besok, saya mau ke Semarang, lalu mungkin pulang ke Wates."

"Enggak repot atuh geulis. Bunda mah itung- itung biar kalo Rania lagi kesusahan juga ada yang bantu di sana. Makanya Bunda juga harus nolong kamu, yah. Udah santai saja. Bunda bawain teh hangat sama bolu ketan hitam." Tanpa menunggu jawaban Laras lagi, Bunda ke luar dari kamar.

Laras mematung duduk di tepian tempat tidur berukuran tiga itu. Matanya nyalang berkeliling menyapu interior kamar yang didominasi warna- warna hangat. Krem, cokelat.

Hanya ada meja rias yang sepertinya berasal dari zaman kompeni. Tapi permukaannya terawat dan mengilap. Lalu ada rak buku dari rotan, jendela kecil, lemari pakaian tiga pintu yang terbuat dari kayu yang berpelitur juga.

Aroma citrus yang berasal dari pengharum ruangan yang menggantung pada AC, membuat ruangan itu beraroma segar.

Bunda Intan masuk lagi dengan senampan bawaan. Seteko teh dan dua gelas kosong, serta sepiring kue bolu ketan hitam buatan sendiri. "Di makan atuh Neng. Kalo jam segini mah seadanya ya. Nggak perlu sungkan. Jam empat pasukan Bunda teh baru bangun. Palingan jam enam sarapan udah tersedia." Bunda Intan berkata.

Miss Dandelion Where stories live. Discover now