Lima Belas

1.6K 225 25
                                    


Rosmala kemudian pamit pulang setelah menemani Laras makan malam. Suta belum menunjukkan batang hidungnya hingga jam delapan malam.

Tadinya, Laras merasa tidak enak kalau harus makan duluan. Namun sang ibu mertua memaksanya. "Kamu kan lagi hamil, Ras. Emang rasanya nggak enak kalo ngeduluin suami, tapi bayi dalam kandunganmu itu juga nggak bisa nunggu kan? Hidupnya aja masih bergantung sama kamu, loh. Udah makan dulu sama Ibu ya. Nanti kalo Suta udah pulang, baru kamu temenin makan."

Akhirnya, Laras mengalah.

Sambil makan malam yang menunya adalah lodeh nangka muda, tahu, tempe, sambal terasi dan bakwan jagung, Rosmala menanyakan perkembangan kehamilan Laras.

" Mual sih nggak sampai, Bu. Cuma pusing banget aja setiap pagi." Keluh Laras. Entah mengapa, rasanya dia lega sekali bisa berbagi beban dengan seseorang. Terlebih, orang itu adalah ibu mertuanya sendiri. Laras jadi merasa punya ibu di tempat yang jauh.

Selama ini, ketika bekerja di Jakarta, Laras berusaha mengatasi semuanya sendirian. Menjadi anak sulung dari empat adik, membuatnya harus bisa mengambil keputusan sendiri, mengatasi semua permasalahannya sendiri. Karena Laras terbiasa menjadi tempat adik- adiknya bergantung.

"Dulu ibu sih waktu hamil Suta juga nggak begitu banyak keluhan." Ujar perempuan itu dengan ekspresi menerawang di wajahnya. "Tapi memang waktu itu nggak ada waktu buat mengeluh. Hidup kami nggak sebaik sekarang. "

Laras tersenyum. Ketika itulah, telinganya menangkap langkah kaki yang menghentak beradu dengan permukaan lantai granit rumah tersebut. Suta tegak di antara ruang tengah dan ruang makan. Mengatasi dua orang perempuan yang sedang bercengkerama di meja makan.

"Suta, baru pulang?" sambut Rosmala santai. "Sini gabung. Ini Laras yang masak, loh. Kamu mesti coba, pasti cocok sama seleramu!"

Suta hanya memicingkan matanya. Pemandangan di depannya itu sama sekali tidak membuatnya senang. "Nggak usah. Makasih. Aku sudah makan." Kemudian, tanpa bersalaman atau berpamitan dengan sang ibu, Suta balik kanan dan berjalan ke arah kamar mereka di dekat tangga menuju lantai dua.

***

Suta yakin sekali bahwa meski tidur sekamar, bahkan satu ranjang dengan Laras, ia tidak akan tertarik untuk ambil kesempatan.

Laras tidak jelek. Bahkan bisa dibilang cantik dan manis. Ia punya pesona kecantikan khas perempuan Jawa. Yang kalem dan eksotis. Tubuhnya yang sintal juga bukan selera Suta. Apalagi, Laras ternyata selalu tidur mengenakan daster selutut yang terbilang gombrong.

Suta mendecih. Mencibir dalam hati. Seleranya jauh dari itu. Segera terbayang tubuh ramping seputih susu milik mantan kekasihnya yang selalu mengenakan lingerie terbaik dan terseksi untuk memuaskan Suta.

Ketika sedang di Jakarta, Suta memang kerap menemani Felisha di apartemen yang dibeli pria itu di kawasan Setiabudi Tower Center alias STC. Biasanya, Suta akan tinggal di sana hingga Felisha harus terbang melintasi separuh bumi untuk mengadakan peragaan busana di belahan bumi lain. Terlebih, dua tahun belakangan, perempuan itu menandatangani  kontrak untuk Zuhair Murad . Tentu saja harus Suta yang bolak- balik terbang ke Paris.

Akan tetapi, Suta tidak pernah keberatan, karena bersama Felisha, ia merasa menemukan tujuan hidupnya.

Felisha selalu ambisius saat mengejar sesuatu yang diinginkannya. Hal itu pula yang menjadi pesona perempuan  juga adalah spokesperson untuk sebuah produk kecantikan internasional.

Suta yakin, hanya seorang perempuan biasa bertubuh sintal yang tidur di sampingnya ini, tidak akan membuatnya lepas kendali.

Hanya saja, ketika pagi tiba keesokan harinya, Suta sudah memeluk tubuh sintal itu dari belakang. Tak hanya itu, Suta bahkan tanpa sadar sudah menciumi tengkuk Laras yang beraroma wangi--- bukan, melainkan sedap--- yang menguar dari tubuh perempuan itu.

Miss Dandelion Where stories live. Discover now