Dua Puluh Enam

1.6K 267 10
                                    

"Berarti ini bukan anak Mas Suta?"

Didesak pertanyaan yang seperti itu, tentu saja Laras tergugu. Teringat kembali sosok yang membuatnya berada dalam posisi seperti ini. Hidup segan mati tak mau.

Ratih berdiri di tepi ranjang. Berkacak pinggang, sebelum meraup wajahnya dengan gusar.

"Kok bisa sampai begitu? Ini maksud aku Mbak yang ngelakuin secara sukarela. Atau dipaksa sama atasan Mbak Laras? Kalo memang dipaksa, berarti itu termasuk dalam tindakan rudapaksa bukan? Mbak seharusnya lapor polisi!"

"Masalahnya bukan, Tih..." Laras nyaris menangis. Mengingat betapa bodohnya dirinya, tidak membuat perasaannya lantas jauh lebih baik.

Sudah bodoh ya bodoh saja. Tidak usah membela diri!

"Mas Suta tahu tentang ini?"

Laras hanya mengangguk sekilas.

"Kalo kamu mau maki- maki Mbak, Mbak terima, Tih. Mbak memang bodoh. Dan sekali bodoh akan tetap bodoh. Nggak akan ada pembelaan apa pun dari Mbak ."

Ratih menghembuskan napas kasar, sebelum duduk di tepi kasur, di sebelah sang kakak yang tergugu menunduk.

Ratih kemudian merangkul pundak Laras. "Ssstt.... Mbak, aku bukan mau menghakimi Mbak yang seperti itu. Aku cuma mau nanya, apa itu hasil pemaksaan atau bukan? Dan kenapa Mbak mau mempertahankan bayi itu? Kenapa Mbak mau nerima tawaran pernikahan dari Mas Suta?" Ratih mencecar dengan wajah dipenuhi emosi.

Laras menatap adiknya dengan mata basah berurai air mata. "Aku.... aku nggak tahu, Ratih. Semuanya terjadi begitu saja. Mbak dan bos di tempat yang dulu itu memang akrab. Dia suka curhat tentang rumahtangganya yang kacau sama Mbak. Tahu- tahu saja kami dekat, dan.... jadi kebablasan!" Laras tersedu- sedu. Terisak- isak. Ratih hanya mengelus pundak sang kakak.

"Mbak kenapa nggak cerita sama aku? Kenapa disimpan saja seperti ini sendirian?"

"Karena ini masalah aku yang ciptain sendiri, Tih. Aku yang cari gara- gara sama hidupku. Sekarang, meski kelihatannya sudah terpecahkan, aku tetap ngerasa nggak tenang. Dengan moral yang rusak parah begini, gimana bisa nantinya aku mendidik anak aku, Tih?"

"Lalu kenapa terima Mas Suta?"

Laras pun akhirnya menceritakan tentang kejadian dengan Mas Andri. Ia merasa tak punya pilihan. Tujuanya untuk menerima Suta adalah supaya paling tidak ada yang melindunginya dari prasangka orang yang bukan- bukan terhadapnya.

Punya fisik yang curvy, montok, sintal,  bisa diterima Laras sebagai anugerah Tuhan. Hanya saja, ia juga tak bisa mengendalikan isi pikiran para lawan jenis yang memperhatikannya.

Selama ini dia bersikap ramah pada semua orang, semata- mata itu memang pembawaannya sejak dulu. Bukan sebagai bentuk undangan kepada lawan jenis yang punya niat tidak baik.

"Tadinya rencana Mbak udah bulat mau pindah ke Semarang. Mbak udah ngobrol banyak sama Putri. Kebetulan Mbak masih punya tabungan yang bisa dipakai untuk beberapa tahun ke depan. "

Ratih melongo. Kisah sang kakak sungguh amat mind-blowing untuk dicerna. Dia sampai terdiam untuk beberapa saat lamanya demi bisa menenangkan dirinya yang ditimpa shock luar biasa.

"Lalu, atasan Mbak itu tahu, kalo Mbak Laras hamil anak dia?"

Laras menggeleng berulangkali. "Dia udah punya istri, Tih." Laras terisak lagi. "Dulu, katanya hubungannya sama istrinya udah diujung tanduk."

Ratih mencibir. "Laki kalo mau get laid sih memang bisa ngomong apa aja kali, Mbak! Asal bisa ngelakuin hal itu sama cewek yang dia incer. " Cemooh gadis itu. Agak kesal juga dia kenapa kakaknya seperti masih membela mantan atasan yang jelas- jelas brengsek itu.

Miss Dandelion Where stories live. Discover now