Dua Puluh Delapan

1.6K 315 39
                                    

Semenjak sentuhan di senam hamil itu, segalanya berubah bagi keduanya.  Cara Suta menatap Laras, kini berbeda. Begitu pun sebaliknya.

Benih- benih rasa mulai muncul di hati keduanya. Tatapan Suta pada Laras terkadang juga begitu lembut. Laras sendiri menunjukkan wajah malu- malu, dan rona yang menyebar di pipinya ketika mata keduanya bertemu pandang.

"Kita mau makan di mana?" saat itu, keduanya baru saja pulang dari senam hamil hari Rabu.

"Di mana aja Mas Suta mau. Pokoknya harus makan masakan yang benar- benar mateng," beritahu Laras.

"Kita ke Kembang Lawang aja, ya? Aku kayaknya lagi kepingin makan rawon deh."

Laras mengangguk menyetujui. Mobil yang dikemudikan Suta pun meluncur di jalanan Jakarta. Supaya bisa menikmati waktu berdua, Suta sengaja pergi ke Kembang Lawang cabang Tangerang Selatan. "Mau sekalian nonton?"

Mereka semakin mirip remaja yang baru pertama berkencan. Laras manut saja. Menghabiskan waktu bersama Suta tanpa harus dimuntahi kata- kata pedas seperti awal- awal kebersamaan mereka, adalah sebuah anugerah yang sebelumnya tak pernah berani perempuan itu bayangkan.

Ia bahkan pernah berpikir, bahwa kelak mungkin Suta akan melepaskan dirinya ketika bayi yang kini berada dalam kandungannya lahir ke dunia.

Dalam pernikahan yang tak didasarkan cinta ini, Laras tak berani banyak berharap. Ia bersyukur mendapatkan penjagaan dari suaminya itu.

Mobil berbelok ke pelataran sebuah restoran bergaya Jawa klasik dengan pintu gebyok dan aneka macam ukiran khas Jepara.

Konon katanya, pemilik restoran ini adalah etnis Tionghoa- Jawa yang berasal dari Jepara, lalu menikah dengan wanita Jawa tulen asal Semarang.

Laras memesan nasi ayam khas Semarang sementara Suta memesan rawon komplit. "Kamu kapan mau resign? Kandunganmu bakalan semakin besar."

"Rencananya kalo udah delapan bulan aja sih, Mas."

"Nggak takut ketahuan kalo lagi hamil?"

"Beberapa udah tahu, kok. "

"Terus kamu bilang apa?"

"Saya bilang, saya emang udah nikah. Suami saya kerja di BUMN di Bandung. "

Muka Suta berubah horor. "Begitu? " ia berucap tajam. Wajahnya berubah tak enak. Membuat Laras menyesali perkataannya. "Emang kamu punya pacar di Bandung?"

Laras tadinya sudah niat menggeleng. Berbohong demi kedamaian rumahtangga seingatnya sah- sah saja. Tapi tanpa bisa dikondisikan, ia malah mengangguk. Suta membuang muka.

Laras tak enak hati.

Dengan Suta ternyata semuanya tidak selalu mudah. "Tapi dia juga udah nikah kok, Mas. "

"Aku nggak peduli tuh, dia mau udah nikah, atau udah lewat sekalian!" semburnya pedas. "Orang- orang jadinya mikir kalo kamu istri pria entah siapa yang ada di Bandung!"

Laras memasang tampang tak berdosa. Saking lelahnya dia. Kehamilan di usia ini banyak menyita waktu tidurnya. Setiap malam gerah bukan main, belum lagi gatal di perut yang tidak boleh digaruk, sakit punggung, pipis terus! Semuanya menyiksa dan harus dilaluinya seorang diri.

Dulu, setiap ibunya hamil adik Laras, Bapak selalu bersedia memijit kaki ibunya, membuatkan minuman hangat, mengelus punggungnya yang pegal atau perut ibu yang gatal.

Sekarang dia tak mungkin meminta itu semua dari Suta. Pertama, dia tak berhak memintanya. Yang kedua, yang di dalam kandungannya bukan benih pria itu.

Rawon dan nasi ayam datang, bersamaan dengan lumpia ayam sebagai starter serta dawet ayu Banjarnegara sebagai makanan penutup.

Miss Dandelion Where stories live. Discover now