Lima

1.5K 204 9
                                    

Laras tidak mengerti, ada apa dengan Suta yang selalu mengkritisi caranya berpakaiannya yang sebetulnya tidak ada masalah bagi yang lain.

Laras bahkan sudah menanyakan pendapat orang- orang di sekelilingnya, tentang apakah benar kalau pakaiannya terlihat terlalu seksi atau mengundang.

"Sebenarnya sih, nggak ada yang salah sama baju- baju lo," ini pendapat Lisda, tetangga kosnya.

Wajar kalau dia menanggapi demikian. Baju- baju Lisda sendiri bisa dibilang sedikit seronok untuk pergi kerja. Roknya selalu di atas lutut. Dan atasannya seperti kekecilan dua nomor.

"Nggak ada masalah kok sama baju- bajumu," Linda menenangkan. "Hanya kayaknya memang proporsi tubuh kamu aja sih. Risiko punya bodi sintal sih emang begitu kali ya? Tapi menurutku nggak ganggu juga. Kecuali yang bilang itu orang yang iri atau sirik sama kamu."

Kenapa juga Suta iri padanya? Kalau Cynthia sih pantas iri. Bolak- balik Laras memergoki gadis itu memperhatikannya dengan sorot mata yang sinis.

Apa mendingan Laras ke kantor pakai gamis saja? Atau jubah yang tidak terlalu mencetak bentuk tubuhnya. Tapi kualifikasi untuk jadi sekretaris kan salah satunya harus berpenampilan menarik?

Tauk ah, gelap!

***

Laras baru saja membuka tutup rice cooker, ketika tahu- tahu saja seperti ada yang menonjok ulu hatinya. Rasa mual menyerangnya tanpa ampun, membuatnya langsung menghambur ke kamar mandi.

Ia memuntahkan sisa- sisa makanan. Tadi sore, dia masih sempat jajan batagor di dekat kantor, lalu mampir ke mini market untuk beli Sari Asam Jawa, karena sejak pagi, ia merasa mulutnya tidak enak. Meluah. Pahit selalu ingin muntah.

Dipikirnya ia hanya masuk angin, karena memang baru tadi pagi saja gejalanya muncul.

Tapi setelah selesai mengeluarkan isi perut, tak sengaja matanya mengarah ke rak biru kecil yang menggantung di dinding kamar mandi.

Nun di situ, matanya menangkap bungkus pembalut yang masih utuh. Itu artinya, bulan lalu dia belum mendapatkan menstruasinya.

Ya Tuhan. Ya Tuhan. Ya Tuhan!

Laras meraup wajahnya dengan gusar. Apakah benar dirinya hamil? Apakah perbuatannya dengan Gatra di apartemen milik pria itu dua bulan yang lalu memang membuahkan janin? Tanpa sadar, tangan Laras sudah mengelus perutnya yang masih rata itu.

Dia memang bertubuh padat dan sintal. Ukuran payudaranya lebih besar dari pada milik teman- teman sebayanya. Juga bagian bokongnya yang cenderung bulat dan naik. Pinggulnya pun juga menjadi faktor, mengapa sudah sejak kelas enam SD, Laras sudah jadi pusat perhatian banyak orang. Termasuk dari orang yang lebih tua darinya.

Namun pinggang dan perutnya cenderung ramping, sehingga membuat bentuk tubuhnya mirip gitar Spanyol.

Selain itu, Laras punya fitur wajah yang menenangkan untuk dipandang berlama- lama. Bentuk wajahnya bulat telur, matanya bulat, hidungnya mungil namun mancung, bibir bagian bawahnya lebih tebal dari bagian atas, membuat bagian itu selalu tampak mengundang. Alias seksi.

Tingginya 162 sentimeter dengan bobot yang tidak pernah lebih dari 49 kilogram, dan kemungkinan besar semua ekstra berat badannya itu berkumpul di bagian- bagian tertentu. Hanya saja, ia tidak memiliki penunjang berupa kulit putih seperti yang didambakan banyak perempuan. Kulitnya cenderung sawo matang, maka dari itu, Laras sangat concern merawat kulit sehingga meski kelihatannya tidak putih, tapi jelas-jelas sangat mulus.

Sejak melihat  kelebihan putri sulungnya, ibu Laras selalu mewanti- wanti supaya perempuan itu pandai- pandai menjaga diri. "Perempuan itu harga dirinya dan kehormatannya terletak  pada kesuciannya, Nduk. Kalau kamu bisa jaga diri, Insha Allah, nanti dapat jodohnya juga pria baik- baik."

Dan nyatanya, Laras sudah melanggar semuanya itu. Kini ia merasa begitu hina dan tidak punya masa depan.

Sebagai warga masyarakat yang masih sangat bergantung pada norma kesopanan, tentu saja Laras masih punya rasa malu. Ia malu bila  kehamilannya akan tampak jelas, sementara semua orang di lingkungan ia tinggal tahu, bahwa ia belum bersuami.

Duh, Tuhan! Ibunya pasti akan malu sekali. Punya anak perempuan disekolahkan tinggi, kerja di kota besar, tapi pulang- pulang gendong anak tanpa suami.

Jujur saja, Laras tidak berani menatap kenyataan itu. Dalam rahimnya kini tumbuh janin tak berdosa, hasil perbuatannya dengan Gatra.

Ia tak mungkin mendatangi pria itu. Laras tahu betul, saat ini Gatra masih menjadi suami sah dari Vega Zilgwina. Seorang aktris sekaligus model yang karirnya sedang menanjak.

Ya Tuhan, kenapa ia bisa bodoh sekali? Kenapa dulu ia mau saja terperdaya oleh rayuan dan bujukan Gatra yang terus dilancarkan pria itu padanya?

"Rumah tangga saya sedang nggak baik- baik saja, Ras. Istri saya sering bepergian ke luar kota, ke luar negeri. Kamu jadi jarang menghabiskan waktu bersama. Padahal, saya ingin segera punya momongan. Saya udah empat puluh sekarang!"

Dari satu curhatan ke curhatan yang lain, tumbuh empati di hati Laras yang lugu. Ia merasa kasihan dengan nasib rumahtangga atasannya, dan rupanya hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh Gatra.

Sekarang, kalau sudah begini, apa yang bisa dilakukan Laras?

***

Nekat membeli alat tes kehamilan sepulang kerja keesokan harinya, Laras mencoba peruntungannya. Ia membeli test pack dari sepuluh mereka berbeda. Mulai dari yang murahan, hingga yang harganya bikin meringis.

Laras berharap dugaannya keliru. Namun sepertinya, ia memang pantas mendapatkan ganjaran atas perbuatannya; semua alat tes kehamilan itu mengatakan hal yang sama. Larasati Kirana hamil. Hanya saja, ia tak tahu sudah berapa lama usia janin dalam kandungannya itu.

"Saya mau ambil libur hari ini, Pak. " Terpaksa Laras menghubungi kantornya dan mengatakan bahwa ia tidak enak badan dan berencana pergi ke dokter hari itu.

"Sakit?" suara Suta adalah perpaduan antar kekuatiran bercampur dengan ketidakpercayaan. "Sakit apa?"

"Saya juga belum tahu. Ini juga baru pergi ke dokter. "

"Sudah lama kamu ngerasain nggak enak badannya?"

"Tiga hari yang lalu mulainya, Pak. "

"Kenapa nggak langsung ke dokter?"

"Saya kira bakalan hilang kalau minum obat. Nyatanya hari ini makin parah."

"Ya sudah." Sambungan terputus.

***

"Sudah berapa lama nggak dapat haid?" pertanyaan dokter Rio membuat Laras tersentak dari lamunannya. Ia memilih mendatangi rumah sakit di kawasan pusat Jakarta. "Sudah sekitar dua bulan," jawab Laras muram.

"Kita akan mengetahuinya dari pemeriksaan darah ." Tadi sampel darah sudah diambil oleh perawat. Jadi tinggal menunggu hasilnya. " Ada keluhan lain? Mual atau sebagainya?"

"Selama ini nggak pernah mual, Dok. Baru tiga hari lalu saya mendadak terasa mual banget sampai muntah. Selebihnya cuma badan saya terasa lemas."

Setelah menunggu beberapa saat lamanya, suster masuk ke ruangan dengan hasil lab di tangan. Dokter Rio membuka hasilnya dan membaca berkas yang diserahkan suster tadi.

Pria berusia akhir tiga puluhan itu kemudian meletakkan map warna biru, sebelum menatap ke arah Laras yang seperti sedang menunggu vonis hukuman gantung.

"Saya harus mengucapkan selamat pada Bu Laras. Anda positif hamil. Usia kandungan saya perkirakan sepuluh minggu, atau dua bulan lebih dua minggu, dilihat dari posisi uterusnya tadi... "Laras sudah tidak lagi mendengar kata- kata sang dokter, karena mendadak, dunianya terasa benar- benar gelap. Ia pingsan di kamar praktik dokter Rio.

***






Miss Dandelion Where stories live. Discover now