Dua Puluh Satu

1.6K 242 11
                                    

"Halo, yang katanya pembantu Suta! Wuih, sekarang orang kerja juga harus bawa pembantu sendiri ke kantor, ya?" Kennan menyangga dagu sambil manggut- manggut. Matanya tampak tertarik mengamati Laras yang hari itu mengenakan terusan warna merah marun yang dilapisi dengan blazer warna putih mutiara, rambutnya hanya ditahan dengan bando warna hitam. Membuatnya tampak semakin manis.

"Ah, Pak Kennan... "

"Loh, kok panggilnya Pak, sih. Emang kamu panggil Suta juga, Pak?" Kennan pura- pura merajuk. Ia membungkuk dengan kedua tangannya bertumpu pada pinggiran meja Laras. Tubuhnya condong ke arah perempuan itu.

"Ini kan di kantor, Pak Kennan. "

"Oh, kalo di rumah panggilannya apa? Sayang? Cinta? Darling? Kang Mas?" Kennan mengerling jahil sambil menelengkan kepala.

Laras tertawa renyah. Tawa itu segera menular pada Kennan yang sengaja datang sore itu. "Kok ke sininya sore sih, Pak? Janjian mau pergi sama Pak Suta?" tanya Laras ramah.

Jadi, ketika Sabtu kemarin Kennan dan Randi sidak ke rumah Suta, mereka bertemu dengan Laras, yang mana  hal itu terasa ganjil adanya bagi mereka yang sangat mengenal Suta. Sebab, sahabatnya itu tidak suka membiarkan banyak orang berkeliaran di rumahnya.

Perempuan itu pada awalnya mengaku sebagai pembantu alias asisten rumah tangga baru di rumah Suta. Hanya saja, tak mungkin Suta melihat asisten rumah tangganya dengan cara yang begitu intim. Seakan- akan mereka punya satu rahasia yang hanya dibagi berdua.

Hanya saja, Suta dengan tampang tidak rela meralatnya dengan  malas- malasan. Setelah ia mengumumkan bahwa dirinya sudah menikahi Laras di KUA, Kennan dan Randi misuh- misuh dengan hebohnya.

Walau dalam hati, mereka berdua happy karena akhirnya Suta bisa move on dari masa lalu yang toksik. Meski caranya agak di luar nalar.

Secara fisik, Laras jelas bukan selera Suta. Sahabat Kennan itu cenderung menyukai perempuan bertubuh bak model. Ramping dan tinggi serta berpenampilan elegan dan punya tingkat kepercayaan diri tinggi. Sementara sosok Laras adalah kebalikannya.

Perempuan itu punya tubuh sintal dan padat. Terlalu sederhana untuk selera Suta. Mengingat Felisha sangat glamor.

"Nggak. Kita cuma mau ngerayain pernikahan salah satu temen kita. Kamu emang nggak dikasih tahu?" Alis Kennan yang lebat itu berjinjit naik.

Laras tertawa, kemudian menggeleng. "Saya juga hari ini harus pulang cepat. Jadi nggak mungkin gabung juga. Adik saya mau datang, Pak. "

"Ck! Jangan panggil Pak, dong, Ras. Panggil nama aja. Meski satu tongkrongan sama Suta, umurku itu lebih muda loh. Suta kan 35, aku masih 32an lah. Masa masih keren begini dipanggil Pak? Kalo Randi sih pantes kamu panggil gitu." Kennan benar- benar lucu. "BTW, nih, Ras, adik kamu manis juga kayak kamu, nggak?"

Saat itu, terdengar pintu ruangan terbuka. Laras seketika menoleh dan mendapati Suta dengan wajah cemberutnya, menatap mereka  berdua dengan tajam dan sinis. "Lo datang ke sini cuma mau ngerayu sekretaris gue?" sungutnya.

Kennan menoleh lalu tertawa. "Oh, kalian ini semacam main sandiwara gitu. Di kantor, Laras ini sekretaris elo. Di rumah dia pembantu elo?" Ia berdecak  kagum. Alisnya kembali melengkung naik. "Kira- kira, di rumah dia bantuin lo apa aja nih? Naikin risleting apa nurunin risleting?" Kennan menatap Suta dan Laras secara bergantian.

Muka Suta langsung abu- abu mendengar komentar sang sahabat. Mulutnya menipis, rahangnya mengetat. Matanya memicing tajam, seolah ingin mengiris Kennan jadi setipis keripik kentang. "Lo kalo ngomong melulu, gue panggilin Cynthia baru tahu rasa!"

"Ih, ancamannya gitu banget sih?!" giliran Kennan yang sewot. "Nggak asyik lo!" dia mencibir. Lalu kembali menoleh ke arah Laras. "Kayak gini kok kamu mau sih, Ras?" Kennan bergidik ngeri.

Miss Dandelion Where stories live. Discover now