Chapter One

10.2K 458 36
                                    

"Nobody said it was easy. It's such a shame for us to part." – Coldplay

-

-

Hujan mengguyur kota dalam waktu sepersekian detik. Rintik-rintik deras membasahi tubuhku, membuatku refleks berlari untuk mencari tempat berteduh. Tapi percuma saja. Tak akan ada yang peduli dengan bajuku yang basah atau rambutku yang lepek, tak akan ada yang memperhatikan bagaimana ceritanya pipiku basah bahkan sebelum hujan turun. Kondisiku jelas tak jauh lebih baik.

Aku toh juga tak begitu peduli.

Toko-toko yang berjajar di sepanjang jalan sudah mulai tutup satu per satu. Lampu-lampu mereka sudah mulai dimatikan, hingga hanya menyisakan cahaya dari lampu jalan. Aku berjalan pasrah menuju kafe sederhana yang dalamnya masih terlihat terang. Samar-samar aku membaca tulisan 'Tutup' di depan pintu masuknya. Aku menghela nafas kecewa, lalu memperlambat langkahku. Percuma saja aku berlari, aku tak akan mendapatkan apa-apa di sana.

Jalan terlihat lengang, dan aku menjadi satu-satunya gadis malang yang kehujanan di tengah malam dengan mata sembab dan nafas sesenggukan. Mengingat apa yang terjadi padaku beberapa menit yang lalu. Mengingat bahwa aku berhak menyesap kebahagiaan malam ini, berlindung di samping perapian, meminum segelas susu hangat, berbalut selimut tebal.

Semestinya sekarang aku tengah bergelung di atas ranjang hangat dengan Glenn di sekelilingku, berbagi selimut satu sama lain, menciptakan kehangatan kami masing-masing. Semestinya begitu. Tidak sebelum aku terbangun dari mimpi indah. Tidak sebelum Bertha datang ke tengah hubungan kami dan menghancurkan segalanya.

Tidak sebelum aku memutuskan hubungan kami.

Aku pikir kami baik-baik saja, dan aku terlalu bodoh untuk mempercayakan semuanya padanya. Aku menangis seiring langkah kepergianku meninggalkan apartemennya yang kotor bersama Bertha. Glenn bahkan tak sanggup menjelaskan segala yang terjadi kepadaku.

Aku mencintainya. Tapi aku tau bahwa aku tak bisa tetap bersamanya ketika ada orang lain dihatinya.

"Jane?"

Terdengar suara bariton membuyarkan nostalgiaku, nostalgia terburukku. Seorang pemuda dengan rambut cokelat pasir memanggil namaku dari balik punggung. Wajahnya sama terkejutnya denganku. Jelas saja, pria itu menemukan diriku yang terlihat seperti gelandangan kesepian yang basah kuyup. Dia baru saja keluar dari pintu kafe, satu-satunya yang mungkin berada di sana. Ia memakai sweater biru gelap yang digulung sampai siku dan jeans belel, menempel di tubuhnya yang tinggi jangkung. Aku tak yakin aku pernah mengunjungi Ducker's Café, tapi aku mengenali pemuda ini.

"Aku Thomas, jika kau tak ingat padaku." Dia menginterupsi sebelum aku sempat membalas sapaannya.

Aku menggeleng dan tersenyum padanya. Cukup mengesankan mengetahui bahwa aku masih bisa menyimpul senyum palsu saat ini. "Tidak, aku mengingatmu, Thomas."

"Kau menangis?" tanyanya dengan dahi berkerut.

Apakah sejelas itu? Kupikir air hujan telah menyamarkan wajahku yang sembab oleh air mata. Dengan pencahayaan yang begitu minim, bagaimana bisa dia memperhatikan itu? Wajahku pasti terlihat sangat buruk.

Aku meringis. "Apakah wajahku terlihat begitu buruk?"

Dia mengangguk. "Ya, dan, Ya Tuhan, kau kehujanan. Masuklah, kau pasti dingin sekali."

Tangannya membimbing punggungku masuk ke dalam kafe. Terasa lebih baik rasanya ketika mengetahui ada seseorang yang mengulurkan bantuan tanpa kuminta. Waktu SMA dulu, aku dan Thomas bisa mengobrol panjang dalam beberapa kesempatan. Meskipun Thomas adalah orang yang enak diajak bicara, aku tak pernah menjadikannya sebagai teman dekat disamping karena kelas kami yang berbeda. Setelah kami lulus, kami tak pernah berkomunikasi lagi.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang