Chapter Thirty-Six

1.8K 160 19
                                    

"So you can hurt, hurt me bad. But still I'll raise the flag." - Coldplay

-

-

Tidak peduli apakah Thomas bisa melukaiku atau tidak, intuisiku memutuskan untuk percaya kepadanya.

Lima panggilan tak terjawab dari Thomas. Aku mengutuk diriku karena mengaktifkan mode getar dan menaruhnya di dalam tas sehingga aku tak bisa mendengarnya. Sekarang giliranku menelepon Thomas, perbuatanku malah mendapatkan balasannya.

Aku menelepon Thomas berkali-kali untuk menanyakan keberadaannya, tapi dia tidak menjawab panggilanku. Itu agak membuatku khawatir. Tapi mungkin saja dia sedang berkendara sehingga tak mendengar panggilanku, atau mungkin Thomas masih sibuk bekerja di kafe. Sempat terpikir olehku untuk langsung pergi ke kafe untuk menemuinya, namun aku mengetik nama Maggie dan meneleponnya. Syukurlah, Maggie memberitahuku padaku bahwa Thomas sudah pulang sejak tadi.

Taksi yang kunaiki menuju langsung dari apartemen Glenn ke rumahnya dengan segera. Perjalanan menjadi lebih jauh dari yang kukira. Atau hanya perasaanku saja, entahlah. Tapi perasaanku benar-benar tak bisa tenang sebelum bertemu dengannya.

Setelah perjalanan yang memakan cukup waktu itu, aku tiba di rumahnya. Aku memutar kenop dengan tergesa dan mendorong pintunya, "Thomas!"

Di hadapanku, aku melihat Diana berdiri dengan bertelanjang kaki menatap tepat ke arahku. Aku bisa merasakan kebenciannya padaku melalui matanya yang indah.

"Dimana Thomas." Aku terdengar seperti menuntut alih-alih bertanya.

"Apa yang sedang kau lakukan di sini Jane?" nadanya begitu lembut, tapi hal seperti itu tak lagi meluluhkanku.

Aku mengernyit. "Maaf?"

Diana menghela nafas, seakan dia sudah sangat lelah menasihatku untuk hal-hal yang tak semestinya aku lakukan karena kebodohanku. "Mengapa kau tidak menyerah saja?"

Aku menggeleng, menyipitkan mataku untuk mengulik kata-katanya barusan. "Aku benar-benar tak mengerti apa yang sedang kau bicarakan."

"Kenyataan itu memang pahit, Jane." Diana mendekat padaku. Tingginya setara denganku, tapi auranya jauh, jauh lebih mengancam. Lalu dia melanjutkan.

"Kau tau apa? Aku menemukan harta karunnya. Kotaknya. Di garasi, saat Thomas di sana untuk memarkir sepeda motornya. Aku tau bahwa jika dia membenciku, dia akan membuang segalanya. Tapi ketika dia tidak membuang segalanya.." Mata Diana membelalak, seakan masih tidak mempercayai apa yang barusan dikatakannya. Aku tau maksudnya. Kotak itu, tentu saja. Berisi segalanya. Barang kenangan. Foto. Sketsa..

Tenggorokkanku tercekat. Aku memejamkan mataku untuk beberapa saat.

"Tidak. Itu bukan miliknya," bantahku. Kugelengkan kepalaku, nada suaraku meninggi. "Ini hanya jebakan yang kau buat."

"Aku juga berpikir bahwa dia telah meninggalkan masa lalunya dan memilihmu. Tapi bisakah kau jelaskan padaku mengapa ia menerima ajakanku pada hari-hari berikutnya? Menurutmu untuk apa dia mau meluangkan sebagian besar waktunya dengan mantan kekasihnya selama berhari-hari? Tidakkah kau pikirkan itu?"

Tanganku terkepal. Sorot mataku menyatakan perang. "Jangan mencoba memprovokasiku."

"Tidak, aku tidak melakukannya." Diana menggeleng, lalu tersenyum. Tidak. Dia menyeringai. Jahat. Licik. Diana mulai berjalan mengitariku. Suaranya setengah berbisik di telingaku. "Atau, mungkin kau yang merasa terprovokasi."

Sialan. Skakmat.

Diana menghela nafas dan melemparkan pandangan prihatin kepadaku. Aku bisa melihat mata birunya yang jernih. "Kau harus menghadapi kenyataan, Jane. Bahwa Thomas masih mencintaiku."

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang