Chapter Twenty-Six

1.9K 167 9
                                    

"Now the sky could be blue, I don't mind. Without you it's a waste of time." – Coldplay

-

-

Ketika aku membuka mata, aku melihat wajah Thomas di sampingku. Tangannya masih bersandar di pinggangku. Dia belum bangun. Dengkurannya terdengar pelan. Aku melirik ke arah jendela yang tertutup tirai. Langit masih gelap. Aku mungkin terbangun tengah malam, tapi saat aku melirik ke arah jam dinding, waktu menunjukkan bahwa pagi akan datang sebentar lagi.

Aku memandang Thomas sekali lagi. Tidurnya pulas. Wajahnya terlihat begitu tentram tanpa beban. Aku menyunggingkan senyum. Senang sekali bisa melihatnya dalam keadaan seperti ini saat pagi. Begitu... murni. Aku mengangkat tangannya dari pinggangku dengan perlahan, tak ingin membangunkannya. Kucium tangannya, kemudian kuletakkan di samping tubuhnya.

"Tidur yang nyenyak, Thomas."

Dengan langkah mengendap-endap, aku mengambil kunci dimana Thomas meletakkannya semalam. Aku memakai jaketku sebelum meninggalkan kamar, lalu menuruni tangga dengan perlahan. Berharap seluruh penghuni rumah tetap terlelap sampai aku kembali.

Aku melewati jalan setapak di belakang halaman menuju pantai. Warna langitnya biru gelap meskipun sudah sedikit lebih terang. Kerlip bintang masih bersinar. Bulan separuh juga masih bisa terlihat dari sebelah utara. Aku berjalan dengan telapak kaki telanjang. Membiarkan hamparan pasir memijat kakiku.

Suara deburan ombak terdengar menyapaku ramah. Mereka bergulung rendah di sepanjang tepian pantai. Angin laut meniup helai rambutku. Udaranya terasa hangat memasuki pertengahan musim panas. Ku hirup udara dalam-dalam. Bau air asin masuk ke dalam paru-paruku.

Langkah kakiku menghampiri pinggir pantai. Mencelupkan jari-jari kakiku ke dalam air. Deburan ombak membasuh kakiku. Jemariku bergoyang-goyang di antara pasir-pasir basah. Geli. Namun itu terasa menyenangkan. Kupandangi kembali warna langit. Naungan warnanya berubah cerah sedikit demi sedikit.

"Berburu matahari terbit, nyonya?"

Ku putar tubuhku ke belakang. Thomas telah berdiri di sana dengan penampilan yang sama seperti terakhir aku melihatnya. Rambut berantakan. Wajah pucat. Kantung mata hitam. Lekuk bibir tipis yang merekah cerahlah yang masih menarik perhatian. Dia memandangku sayu. Kesayanganku.

"Kau sudah bangun," ucapku.

"Kau meninggalkanku tidur sendirian." Thomas mendekat padaku. Memprotes.

Aku menelengkan kepalaku. "Maaf."

Dia tersenyum. Wajahnya khas bangun tidur. Hal terseksi yang pernah ku lihat. "Selamat pagi, Jane."

Aku membalasnya. "Selamat pagi, Thomas."

Kami bertatapan dalam keheningan. Hanya suara deburan ombak yang menengahi kesunyian di antara kami. Entah bagaimana dengan Thomas, tapi aku seperti tersihir. Dia membuatku menemukan kenyamanan untuk terus-terusan memperhatikan detail wajahnya.

"Jadi," akhirnya dia mulai bicara. "Mataharinya terbit dari sebelah sana. Jika kau ingin menyaksikannya lebih jelas, kau harus berjalan lebih dekat ke sana."

"Kita," aku menekankan. "Harus berjalan lebih dekat ke sana."

Thomas menaikkan sebelah alisnya. "Kita?"

Bola mataku berputar. "Oh, ayolah."

Aku meraih tangannya. Jariku tersemat di sela-sela jarinya. Dia balas menggenggamku. Erat. Meremasnya. Aku menyukainya.

"Aku membayangkan, apa kau suka berjalan seperti ini setiap pagi?" tanyaku. Kami berjalan bersisian, menyusuri garis pantai yang membatasi laut dengan tempat dimana kami berpijak.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang