Chapter Two

4.3K 352 36
                                    


"And the tears come streaming down your face when you lose something you can't replace." – Coldplay

-

-

"Dia tak pantas untukmu."

Rengekanku berhenti. Degup jantungku juga seakan ikut berhenti. Thomas terkesiap, ia melepaskan tangannya dariku.

"Ya, aku tau." Aku menghapus air mataku. Thomas menjauhkan tubuhnya, memberi jarak.

"Maaf, lagi," katanya. Dia mengalihkan wajahnya, canggung. Aku meraih cangkir putih di hadapanku dan meneguknya cepat-cepat seperti minum air mineral. Flat white yang sudah mulai mendingin mengalir nikmat dalam kerongkonganku. Dalam waktu singkat cangkir itu segera kosong. Aku tak tau apakah aku memang terlalu gugup atau mulai dehidrasi.

Aku memandang ke arah jendela. Figur kota dapat terlihat lebih jelas setelah tadi memudar ditutup derasnya hujan. Sekarang hanya tinggal rintik-rintik kecil yang turun, jadi kurasa aku bisa segera meninggalkan tempat ini. Sesegera mungkin.

"Aku harus pulang," kataku.

"Aku akan mengantarmu." Thomas menawarkanku tapi aku menggeleng. "Tidak apa, aku akan mencari taksi."

"Kau yakin?" Thomas mengerutkan dahinya.

Aku mengela nafas pelan, bukannya aku tidak tau bahwa jalan sudah sesepi itu. Aku bisa menunggu cukup lama untuk mendapatkan kendaraan umum karena jumlah unit yang beroperasi pasti sudah sedikit. "Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu, Thomas."

"Aku tak merasa direpotkan." Ia mencodongkan tubuhnya padaku. "Tunggu di sini. Aku akan selesai sebentar lagi."

Thomas mengambil cangkirku dan bergegas ke dalam pantri. Well, Thomas memang bertanggung jawab atas kafe malam ini. Tapi ini sudah waktunya untuk pulang dan aku tak bisa merepotkan Thomas lebih banyak lagi. Jadi aku memutuskan untuk pergi meninggalkan kafe tanpa pamit.

Aku berjalan menuju halte, berharap bus masih beroperasi untuk mengantarku pulang. Udara dingin sehabis hujan menembus sampai ke tulangku. Bodohnya, aku lupa meninggalkan jaketnya yang kini masih melingkari tubuhku. Mungkin aku akan mengembalikannya esok sekaligus mengucapkan terima kasihku.

Aku tak yakin sudah seberapa lama aku menunggu. Mungkin sepuluh menit atau kurang? Entahlah, rasanya lama sekali. Dingin semakin menjadi-jadi. Aku merapatkan jaketnya, berharap dapat meminimalisir dinginnya. Aroma pria itu tercium dari sana. Wangi mint.

"Sendirian, Nona?"

Suara familier itu mengejutkanku bersamaan dengan deru sepeda motornya. Wajah Thomas menyembul dari balik helmnya. Dia menghentikan motornya tepat di depanku. Aku meringis.

Thomas menyandarkan sikunya pada badan motor. "Sudah kubilang."

"Oke, aku kalah." Aku beranjak naik ke balik punggungnya, pasrah. Sejujurnya, ini sama sekali tak merugikanku. Justru menguntungkanku.

"Tunjukkan aku rumahmu, oke?" katanya. Lalu aku menyetujuinya.

Aku berpegangan pada pinggang Thomas yang ramping. Rasanya berbeda sekali ketika bersama Glenn, pinggangnya lebih besar dan padat, dan dia memiliki bahu yang lebar. Otot-ototnya yang liat menunjukkan bahwa dia mendapatkan asupan yang baik dan olahraga yang teratur. Sedangkan Thomas memiliki tubuh jangkung yang ramping, meskipun kini tubuhnya kini terlihat lebih besar dari yang kuingat. Mungkin karena tenaganya telah dipakai bekerja seharian penuh. Tapi untuk alasan itu jugalah yang menjadikannya memiliki fisik yang kuat.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang