Chapter Thirty-Four

1.9K 166 4
                                    

"I hear Jerusalem bells a-ringing. Roman cavalry choirs are singing." – Coldplay

-

-

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bercinta dengannya.

Pagi hari saat aku membuka mata, aku mendapati cahaya dari langit berwarna pucat di balik jendela menyoroti tubuh kami yang polos. Thomas masih tepat berada di sampingku, tidur dengan nyenyak. Dadanya naik turun, nafasnya terdengar teratur.

Saat aku menengok pada tubuhku sendiri, aku menyadari perbedaan di sekitar tubuh kami. Sebuah selimut hangat yang menyelubungi kami berdua, dengan bantal-bantal yang berjajar di sekeliling kami. Tadi malam, aku tertidur begitu saja di sampingnya hingga aku tak tau kapan persisnya Thomas pergi untuk membawa semuanya ke sini, ketika Thomas seharusnya bisa membangunkanku untuk pindah atau menggendongku keluar. Tapi mungkin Thomas hanya ingin tidak mengganggu tidurku, atau sengaja membiarkanku tetap nyaman di sini.

Aku menerawang ke hadapan langit-langit ruangan, mengingat lagi apa yang telah terjadi terhadap tubuhku malam tadi. Adegan-adegan itu terputar ulang dalam otakku. Sentuhan yang diberikan oleh sidik jarinya, gesekan dari permukaan kulitnya yang kasar, dan kelembutan dari bibirnya yang hangat telah melumuri seluruh tubuhku. Membayangkannya membuat bulukudukku berdiri, saraf-sarafku terjaga.

Aku menoleh pada Thomas di sampingku. Dia tetap di sana. Dia tidak pergi. Aku tidak percaya bahwa aku telah melakukannya. Segala ketakutan dan kekacauanku seakan menghilang. Dan sebab itulah aku tak yakin apakah aku bisa lebih bahagia dari pagi ini.

Aku bangkit untuk duduk, tubuh telanjangku terasa sangat terekspos saat selimut meluncur turun dari kulitku. Aku memandang laut di balik kaca jendela yang memantulkan warna biru langit yang lembut. Burung-burung camar bersahutan, bersaing dengan deburan samar ombak yang memecah karang.

Mataku menangkap sesuatu di atas meja. Aku merangkak untuk mengambil map warna hijau yang tanpa sengaja tergeletak di sana. Aku membalik sampulnya tergesa dan mengenyampingkan privasi. Aku terlanjur penasaran dan membuka halaman pertamanya. Sketsa baru. Dia mungkin membuatnya tadi malam setelah aku terlelap. Ada gambarku di sana. Sedang tertidur dengan selimut yang membungkus tubuhku. Aku tak tau apakah karena gambarnya yang bagus, atau karena aku memang terlihat lebih cantik di matanya, atau karena aku memang cantik.

Aku buru-buru mengembalikan map itu ke atas meja saat mendengar Thomas menggumam dan bergerak di balik punggungku. Aku membungkuk di atas tubuhnya, menyambutnya dengan senyuman ketika ia membuka mata. Dia mengerjap beberapa saat, kemudian ikut tersenyum memandangku.

"Apa aku sedang di surga sekarang?" bisiknya dengan suara serak khas bangun tidur. Bola matanya yang jernih menatap mataku sayu. Aku mengangguk, menyisir helai-helai rambutnya yang memanjang jatuh diantara dahinya. Itu membuatnya semakin seksi.

"Benar, karena sekarang ada malaikat di hadapanku."

Aku tergelak, merangkak menindih tubuhnya, kemudian mencium bibirnya.

***

Ketika saat itu Thomas berkata padaku bahwa dia berusaha berdamai dengan masa lalunya karena aku, aku menyadari bahwa hal itu tak hanya berlaku padanya. Tetapi juga padaku. Aku perlu seperti dirinya, berdamai dengan masa laluku. Jadi saat aku berencana untuk membatalkan janji terpaksaku dengan Glenn, aku memutuskan untuk tetap menemuinya.

Aku memikirkan itu di sela pekerjaanku. Bertanya pada diri sendiri apakah aku benar-benar sanggup menemuinya besok.

Pekerjaanku mengharuskanku mengantar berkas-berkas dari kantorku ke perusahaan kerabat. Aku tak mengerti mengapa aku yang perlu mengantar berkas-berkas itu, atau apakah ini sebuah takdir, sehingga detik ini, tepat di lantai lobby, aku bertemu wanita berambut pirang dengan tubuh yang berlekuk. Wanita itu tersenyum padaku dari kejauhan sambil menghampiriku yang ingin sekali meminjam sepatu roket milik siapapun hingga pergi menjauh darinya.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang