Chapter Thirty-One

1.6K 168 7
                                    

"And then I looked up at the sky and saw the sun. And the way that gravity pushes on everyone." - Coldplay

-

-

"Apa dia melakukan sesuatu yang buruk padamu, my dear?" Suara itu tak asing, berasal dari dua meter di samping kananku. Tonny sudah berada di sana, bersandar pada pagar pembatas bahkan sebelum aku ke mari.

Setelah menjauhkan diri dari Thomas dan Diana, aku berjalan menyusuri pantai tanpa tujuan, dan entah dorongan apa yang membuatku naik ke atas dermaga. Mungkin udara dari laut dan langit sore akan menenangkan suasana hatiku. Beruntung, pantai tak membuatku terlihat aneh berjalan-jalan dengan baju yang separuh kering.

Nyatanya aku salah besar. Dermaga ini membawa ingatanku padanya kala itu. Ketika kami duduk berdua setelah berpisah dengan para kawanan SMA, ketika yang sebenarnya kami bicarakan waktu itu adalah Diana. Aku baru menyadarinya.

"Tonny," panggilku, berusaha terdengar ramah. Aku tidak siap bercerita. Potongan-potongan pikiran dan rasa masih berpencar dalam benakku. "Sesuatu yang buruk apa?"

Tonny hampir terkekeh. Dia berjalan mendekat padaku. "Aku melihat gadis itu datang ke rumahku, tepat ketika aku baru saja pulang. Aku tak ingin berada di tengah-tengah kalian, jadi aku memilih berjalan ke sini saja," terangnya.

Tonny sudah tau. Percuma berbohong padanya.

"Aku mengenal gadis itu," katanya. "Maukah kau memberitahuku apa yang terjadi dengan mereka?"

"Yeah, mereka akan kembali bersama sepertinya." Lidahku terasa pahit mengucapkannya.

"Bagaimana kau bisa begitu yakin dengan hal itu?" tanya pria tua itu.

Aku mengedikkan bahu. Memejamkan mata sesaat untuk meredam sesak dalam dadaku. "Entahlah, Tonny. Dia memiliki segalanya yang tak kumiliki."

"Dan kau memiliki segalanya yang tak dia miliki," sergahnya.

Aku mendesah. Tonny ada benarnya, tapi tetap saja itu tidak berarti apa-apa.

"Dia.. aku melihat betapa alaminya mereka saling bicara. Dia mengenal Thomas dengan baik. Sedangkan aku tidak mengenal Thomas sebaik dia. Thomas juga sebaliknya. Akan selalu ada kemungkinan bagi mereka untuk kembali."

Tonny mengerutkan dahinya. "Kau terdengar seperti ingin menyerah."

Mungkin memang begitulah yang akan terjadi. Aku, memang sudah seharusnya.. menyerah.

"Tonny," panggilku, menelan ludah. "Apa menurutmu aku sebaiknya menyerah saja?"

Ekspresi Tonny berubah beberapa saat, tak menyangka. Tapi air mukanya tetap setenang samudera. Dia tidak menjawab.

"Tak ada gunanya lagi, Tonny. Aku telah lelah menyia-nyiakan waktuku dengan banyak pria. Aku tak mau terluka lagi." Mataku dipenuhi air mata, aku hampir tak bisa menatap Tonny dengan jelas. Aku berusaha melepaskan air mataku, tapi mereka tak mau keluar. Terkadang rasanya lebih mudah untuk menahan tangis yang sudah mau tumpah, dibandingkan air mata yang tersumbat dengan sakit yang lebih menyesakkan di dada.

Tonny meraih bahuku, menyandarkan kepalaku pada bahunya yang tegar. Dia menepuk punggungku, mengusap lenganku. Air mataku akhirnya tumpah, aku terisak.

"Dengarkan Jane, bocah itu, dia mungkin membuat kesalahan. Setiap orang membuat kesalahan. Tak ada yang sempurna seperti yang kau tau. Mungkin terluka sebelumnya membuatmu kehilangan kepercayaanmu terhadap orang lain. Kau telah melakukan segalanya, tapi sayangku, kau butuh kesabaran. Jika kau telah bersabar, kau perlu bersabar lebih. Ada beberapa orang di dunia ini yang terpilih untuk bersabar lebih banyak dibandingkan yang lainnya."

"Kenapa aku termasuk ke dalamnya, Tonny?" rengekku.

"Karena kau pantas mendapatkan yang paling baik," ucapnya. "Kau butuh bersabar untuk menyikapi perangai pria. Pria akan selalu membuat kesalahan sebelum dia berubah menjadi laki-laki yang bijaksana. Seberapa buruk yang dia lakukan kepadamu, kau harus mengerti bahwa jauh di dalam hatinya, dia adalah laki-laki yang baik. Hanya saja, mungkin dia tidak tumbuh dengan cara yang baik, tidak dalam lingkungan yang baik.

Tommy adalah anak yang baik, aku mengenalnya. Orang seperti itu hanya membutuhkan seseorang yang bisa membantunya menemukan dirinya sendiri," dia berkata padaku.

Aku telah menghentikan isak tangisku, menengadah ke arahnya. "Bagaimana jika bukan aku orangnya?"

Tonny tersenyum padaku. Dia mengelus rambutku, persis dengan cara Dad melakukannya. "Hari esok adalah misteri, Jane. Kau akan mengetahuinya pada waktunya."

Pria tua itu begitu mudahnya menjadikan Thomas seakan anaknya sendiri. Sekarang, Tonny dengan cepat menjadikanku hal yang sama. Aku membalas senyumnya. Suasana hatiku jauh lebih baik, mengetahui bahwa aku memiliki seseorang yang ada untuk menguatkanku. Seseorang seperti Ayahku.

Tonny menghela nafas. Dia berbicara lebih rileks, kembali menjadi dirinya yang biasanya. "Ahh... anak muda. Dunia ini terasa begitu kejam padamu, bukan? Tapi itu satu-satunya cara yang membuktikan betapa kuatnya kalian. Jika, kau sudah tua sepertiku, dunia boleh jadi terasa baik padamu, tapi sayangnya kau sudah berubah lemah."

Aku terkikik pelan. Kulemparkan pandanganku pada laut yang terbentang di hadapanku. Gelombang airnya meninggi, menciptakan ombak yang cukup besar.

"Kau lihat betapa luasnya laut di sana? Laut seluas itu hanyalah persentase kecil dari seluruh permukaan dunia." Tonny menoleh lagi padaku. "Jadi, Jane, ada banyak hal yang perlu kau lihat di dunia ini. Dan kau akan mengerti bahwa kau tak akan pernah sendirian."

Burung-burung camar melintas terbang melintasi kepala kami. Aku melihat kapal-kapal yang berlabuh di kejauhan. Seperti membaca arah mataku, Tonny melanjutkan. "Aku akan pergi berlayar nanti malam. Pelayaran bulanan seperti yang pernah kuceritakan."

"Semoga beruntung, Tonny." Aku berdoa untuknya, mengusap punggung tangannya yang berkulit kasar.

Tonny menggenggam tanganku dengan tangan satunya. "Semoga beruntung untukmu juga, my dear."

Saat itulah terakhirkalinya aku berbicara dengan Tonny. Pada malam itu, Tonny pergi berlayar ketengah samudera dan tak kembali lagi setelahnya.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang