Chapter Thirty

1.6K 166 4
                                    

"All I know is that I love you so. So much that it hurts." – Coldplay

-

-

Thomas berjalan mendekat pada kami. Aku tak bisa mengartikan tatapannya yang diarahkan pada gadis itu. Mulutnya bungkam sebelum dia menelan ludah, lalu memanggil namanya.

"Diana."

Diana. Aku mengingat nama itu.

Gadis itu tersenyum senang. Bola matanya memindai pria di hadapannya. "Kau terlihat berbeda, Tommy. Maksudku, well, lebih baik."

Dia mengangguk. "Kau juga." Jeda sesaat. Thomas menoleh canggung padaku dan dirinya secara bergantian. Aku harap dia bisa memandangku lebih lama untuk menangkap mataku yang penuh tanda tanya. "Um, ini Jane, omong-omong. Jane, ini Diana."

"Jane?" Gadis itu mengernyit sedetik, seakan baru saja teringat sesuatu. Kemudian Diana mengulurkan tangannya padaku, masih tersenyum sewarna malaikat. "Hai, Jane. Senang bertemu denganmu."

Aku membalasnya, juga dengan senyuman. Aku terlalu terkejut untuk banyak bicara meskipun pertanyaan-pertanyaan berjejal di dalam benakku.

"Jadi ini pacar barumu, Tommy?" tanyanya tiba-tiba. Darahku seakan membeku sesaat. Aku membayangkan apa yang akan dikatakan oleh Thomas. Ketika aku meliriknya, Thomas juga balas memandangiku. Seakan sedang meminta persetujuan dariku, entah apapun itu. Thomas beralih pada Diana, dan kata-katapun keluar dari mulutnya.

"Masuk dan duduklah, Dyn."

Dia tidak mengatakannya. Aku tau dia tak ingin berbohong, tapi dia bisa berbohong. Mungkin jadi lebih baik karena sejujurnya aku sedikit merasa takut jika dia benar-benar mengatakan yang sesungguhnya. Tapi, untuk saat ini, aku ingin dia berbohong.

Thomas menawarkan minuman padanya. Aku ingin mengambil alih, tapi Thomas memintaku duduk bersamanya di ruang tamu sambil mengeringkan tubuhku. Aku terpaksa menurut. Meskipun wajahnya seramah itu, aku tak yakin tak terjadi canggung di antara kami.

"Kau tinggal disini?" dia bersuara.

Aku tertegun. Tanganku berhenti mengeringkan rambutku yang basah. Apa katanya tadi? Tinggal? Di sini? Apa aku perlu mengarang-ngarang cerita? "Tidak. Hanya.. mampir."

Dia mengangguk, memindai seisi ruangan. Mengamati, seperti sedang melihat-lihat furnitur baru. "Rumah ini banyak berubah semenjak terakhir kali aku kesini. Seingatku, perabotnya lebih banyak tapi sedikit lebih bersih dan rapi. Atau mungkin karena waktu itu dia membawaku ke sini tengah malam jadi aku tak benar-benar memperhatikan detailnya. Saat itu orangtuanya masih ada, mereka sudah tertidur. Ava, Tonny, dulu rasanya rumahnya ramai, menyelinap masuk pun menjadi sulit. Waktu itu, aku ingat bahwa ada masalah antara aku dan orangtuaku, makanya Thomas membawaku ke sini tanpa bilang-bilang keluarganya."

Thomas seberani itu? Aku tak bisa membayangkan hal itu. Itu tidak terlihat seperti Thomas yang kukenal. Aku penasaran apa saja yang mereka lakukan dulu. Seperti apa Thomas waktu itu. Sebrutal apa. Pergaulan macam apa. Hal-hal nekat apa saja yang dilakukan mereka bersama.

Memikirkannya membuat hatiku terperas dengan kencang.

"Dia menyembunyikanku dan membawaku keluar pagi-pagi sekali. Dia benar-benar gila waktu itu," dia terkekeh seakan-akan itu lucu. Seakan itu menyenangkan.

Well.. mungkin memang menyenangkan bagi mereka.

Aku jengkel. Sungguh, peduli setan dengan apa yang mereka lakukan dulu. Ingin sekali rasanya aku mendengus jijik, menunjukkan betapa jengkelnya aku mendengarnya bicara. Aura malaikatnya seketika mati. Seperti aku tak bisa melihat sedikitpun kebaikan disana. Aku tak pernah mengenalnya, dan mungkin saja aku perlu memakluminya karena dia memang orang yang terbiasa bicara blak-blakan sebanyak itu. Tapi, apa dia benar-benar perlu mengatakannya?

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang