Chapter Twenty-Eight

1.7K 156 14
                                    


"Under this pressure, under this weight. We are diamonds taking shape." - Coldplay

-

-

Sehabis mandi, aku mengecek ponselku. Thomas belum meneleponku seharian ini. Dia juga tidak mengirimiku pesan. Aku ingin mendengar suaranya, tapi aku pikir aku akan mengganggunya. Jadi aku menghela nafas kecewa dan hanya mengiriminya pesan singkat.

Kau sedang sibuk ya?

Menyingkap handukku, aku memandangi diriku di depan cermin. Wajahku dipenuhi bintik-bintik samar di sekitar hidung. Tubuhku sepenuhnya telanjang. Aku tidak kurus, juga tidak gemuk sebenarnya. Payudaraku cenderung kecil, apalagi jika di bandingkan dengan Bertha. Manusia seperti Glenn jelas tak akan menyukainya. Aku membayangkan apakah Thomas akan menyukainya.

Kuhapus pikiran itu, kemudian aku melanjutkan mengeringkan tubuhku dan berpakaian. Aku mengambil kaus dengan model yang menempel di tubuhku, berharap bisa menjadi motivasi agar berat badanku agar tidak terlalu membuncit. Yah, semoga saja.

Tak lama, bel apartemenku berbunyi. Kuharap itu Thomas, tapi aku tak mau terlalu berharap lagi. Aku sudah cukup sedih dia meninggalkanku tanpa kabar hari ini.

Aku membukakan pintu. Tidak ada siapapun di sana. Apa-apaan? Aku sedang tidak ingin bercanda. Kuedarkan pandanganku, mencari seseorang atau sesuatu. Langkahku mendekat ke ambang pintu. Kepalaku terjulur untuk mencari siapa orang iseng yang-

"HAAA!" Bahuku dicengkram begitu kencang. Seseorang yang datang entah darimana berteriak tepat di depan wajahku. Tubuhku refleks berguncang. Jantungku berdebum, berpacu dengan cepat setelahnya. Dengan otakku yang lambat mencerna, aku baru sadar bahwa itu Thomas. Dia datang mengejutkanku, membuat jantungku seakan melompat. Aku kehilangan kata-kata, sedangkan Thomas dengan puas menertawakan kekikukkanku.

"Sialan! Kau! Thomas!" geramku. Aku memukulnya dengan handuk yang belum sempat ku jemur. Thomas tertawa geli sekali, pasti karena ekspresi wajahku yang terlihat tolol.

Dia memegang kedua bahuku, mendorongku masuk ke dalam. Aku baru menyadari tubuhku lemas sekali setelah dikejutkan tadi. Benar-benar sialan menyebalkannya pria ini. Aku mengutuknya karena itu. Tapi seperti terjangkit virus, aku ikut tertawa juga. Aku tertawa lepas seakan tak peduli dengan siapapun bisa terganggu dengan suaraku yang memecah.

Begitu juga Thomas. Dia membimbingku masuk. Tanpa terasa tubuhku terdorong hingga punggungku menabrak dinding. Kepalaku terbentur pelan. Detik berikutnya dia menempelkan bibirnya lembut pada bibirku. Aku memejamkan mataku, merasakan cara bibirnya mengecup bibirku. Basah. Kedua tanganku meraba bahunya yang kokoh, lalu melingkarkan tanganku pada lehernya. Memeluknya mendekat.

Tangannya kini berada di pinggangku. Mendekapku lebih erat, lalu mengusap punggungku. Entah bagaimana caranya, aku tidak takut dengannya. Aku tidak merasa takut jika ini adalah Thomas. Aku tidak takut karena ini adalah Thomas.

Thomas melepas ciumannya, meninggalkanku terengah. Apa? Kemana perginya dia? Belum sempat aku membuka mataku, bibirnya telah mendarat pada leherku. Aku menahan nafasku. Hangat nafasnya menderu dibawah kulitku.

"Jane, kau wangi," bisiknya. Bibirnya terus membasahi leherku. Aku merinding. Jariku meremas pakaiannya. Aku membuka mataku, memandang samar wajahnya yang masih sibuk. Aku menegakkan kepalaku. Thomas refleks berhenti. Sorot mata rindunya kini terlihat jelas.

"Kau bau," balasku. Dia tersenyum, mengangkat bahunya. "Yeah, aku tau."

Thomas menciumi pipiku. Bukan. Wajahku. Oh, ayolah. Aku tak bisa seperti ini terus. Aku perlu membuatnya berhenti.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang