Chapter Twelve

2.3K 202 10
                                    

"Cause you get lighter the more it gets dark. I'm gonna give you my heart." – Coldplay

-

-

"Ini menakjubkan. Mikaela-mu menakjubkan. Hei, haruskah aku memanggilnya Mikaela sekarang?" Aku menyerahkan helm-ku pada Thomas.

Thomas menerima helm-ku sambil mengernyit. "Terserah padamu."

Aku menepuk bagian belakang Mikaela. "Jadi, apa Mikaela keturunan Prancis atau Jerman?"

"Dia Italia."

Kami berhenti pada sebuah mobil karavan, satu-satunya yang menyala terang di pinggir pantai yang hampir sepenuhnya gelap gulita. Setelah Thomas memarkirkan motornya, kami turun dan menghampiri kedai yang dipasang di depan karavan itu. Aku melihat seorang lelaki tua di balik jendela, matanya mengamatiku dari dari balik kacamata bulatnya yang tebal. Ketika kami sudah cukup dekat, dia keluar dan menghampiri kami.

"Kau membawa seorang gadis," ucapnya. Dia bukan melihat kepada Thomas, melainkan padaku. Aku melirik Thomas yang sekarang berjalan mendahuluiku. Dia tersenyum, sekaligus menyeringai.

"Berikan kami dua cokelat panas, Ferdinand," ujar Thomas pada lelaki tua itu. Kemudian Ferdinand menoleh padaku, "silakan duduk Nona, kumohon jangan takut padaku."

Wajahnya tak menunjukkan banyak ekspresi, dan matanya yang bulat terlihat seperti melotot padaku. Mungkin itu yang membuatku terlihat ragu, tapi Ferdinand tersenyum padaku dan aku tau dia bukan orang yang perlu kukhawatirkan.

Aku duduk di sebuah bangku panjang yang mengarah pada pemandangan laut yang begitu gelap. Suhu udara yang rendah di sekitar laut menggoyahkan pertahanan tubuhku. Telapak tanganku terlihat memucat, namun aku berusaha menyembunyikannya. Tempat ini benar-benar sunyi, hanya terdengar suara ombak yang bergulung dan musik samar dari radio tua di dalam mobil. Di sampingku, Thomas tengah menatap lurus terhadap pantai.

"Kau sering melakukannya?" aku mulai bicara.

"Apa?"

"Berkendara tengah malam melintasi kota, seperti ini?"

Thomas menyisir rambutnya dengan jari. "Tidak juga. Aku biasa melakukan ini untuk menghilangkan stres. Atau sedang bosan. Atau karena cuaca sedang bagus." Dia mendecak, "Ferdinand punya kedai minuman hangat terbaik yang bisa kukunjungi. Sulit dipercaya bagaimana bisa dia bertahan sampai sekarang."

"Tidak sopan membicarakan orangtua yang sedang mengaduk cokelat di belakangmu." Ferdinand berdiri di balik punggung kami dengan dua mug berisi cokelat panas di tangannya.

"Maaf-maaf saja," Thomas menyeringai.

Dia meletakkan kedua mug itu di meja. "Nah, nikmatilah. Hati-hati, ini masih panas."

Aku berbalik dan tersenyum meraih mug tersebut. "Terima kasih banyak, Ferdinand."

Lelaki tua itu mengangguk pelan. "Dengan senang hati." Lalu ditariknya kursi terdekat dan duduk di samping kami. "Kau belum mengenalkannya padaku, Tommy."

Thomas berbalik agar dapat menghadap ke arah kami. "Ferdinand, ini Jane. Jane, ini Ferdinand."

Kami berjabat tangan. "Senang bertemu denganmu, Pak."

Ferdinand masih menatap mataku intens. Aku dapat melihat kantung mata yang tebal berwarna kehitaman di bawah matanya. Rautnya menyiratkan keingintahuan terhadapku.

"Nona muda, apa yang kau lakukan selarut ini bersama bocah bandel ini?" Ferdinand melirik pada Thomas.

"Bocah bandel?" Thomas mengernyit. "Dia butuh udara segar."

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang