Epilogue

3.7K 180 65
                                    

"Look at the stars. Look how they shine for you. And everything you do." - Coldplay

-

-

-

Musim gugur, bulan September, pukul 17:00.

Seperti daun yang jatuh di musim gugur, jatuh cinta memang semudah cara itu.

Aku berjalan dengan mata ditutup. Thomas memintaku melakukannya. Dia menggenggam tanganku, menuntunku berjalan di tanah yang menanjak. Setelah perjalanan gelap gulita itu, dia berhenti.

Hanya terkadang, angin menghempaskannya terlalu jauh, mengombang-ambingnya, melayangkannya, hingga kau terbuai dan tak tau kapan persisnya kau benar-benar jatuh ke tanah. Kadang kau terlalu terbuai hingga tak sadar kapan tepatnya kau telah terjatuh. Kadang melayang terlalu tinggi hingga harus jatuh dalam keadaan terluka.

"Oke, disini. Aku akan hitung sampai tiga baru kau boleh membuka mata."

"Mengapa tidak sampai seratus?"

"Kau pikir aku sedang menghitung domba?"

"Oke, oke. Hitunglah."

Bagaimana bisa aku jatuh cinta padanya ketika tidak ada keinginan untuk mencintainya? Mengapa beraninya terjatuh lagi dan lagi meskipun tau selalu ada kemungkinan untuk hancur?

Thomas menarik penutup mataku. Panas matahari menyengat pelupuk mataku.

"Satu, dua, sekarang."

Daun di musim gugur tak punya keinginan untuk jatuh. Tapi mereka tetap jatuh.

Tuhan telah menghubungkan garis kita, bersamaan dengan kehancuran yang akan terjadi.

Aku mengangkat kelopak mataku perlahan. Sinar putih seperti mengaburkan pandanganku. Kemudian segalanya seperti keajaiban. Matahari yang bergantung rendah menyinari rumput-rumput liar yang mengitari bukit, juga kuncup-kuncup bunga mungil yang seakan tumbuh untuk menyambutku. Aku tidak tau dimana aku berada sekarang. Mungkin di alam mimpi. Mungkin di negeri dongeng.

Ada sebuah tembok besar menjulang di hadapanku yang memantulkan cahaya matahari sore. Aku bergeming. Terdapat sebuah gambar yang sangat besar di depanku.

Tembok itu belukiskan wajahku. Wajahku. Dicat. Dengan warna-warna semerbak.

Sangat cantik. Tak dapat dipercaya.

Aku tidak tau apakah ada kemungkinan untuk mencintainya, tapi akan selalu ada alasan untuk itu. Tergantung dari pilihanku untuk mengelak darinya, atau membenarkannya.

"Oh Tuhan.." Aku tak dapat berkata-kata. "Oh Tuhan. Kau yang membuat semua ini?"

"Well.., dengan sedikit bantuan, sebenarnya." Thomas mengusap tengkuknya.

"Ini luar biasa. Sulit kupercaya." Mataku tak hentinya menelusuri garis-garis yang melengkung indah yang membuatku habis terpana. Entah bagaimana caranya memadukan warnanya, dia membuat seakan wajahkulah yang memancarkan cahaya kemilauan itu. Seakan seluruh warna-warna itu berasal dari dalam diriku. Lalu aku tertawa menggodanya. "Tapi agak mengecewakan, kita tidak bisa membawanya pulang ke rumah."

Aku jatuh cinta padanya seperti daun musim gugur. Yang jatuh ke tanah, lalu hancur dan membusuk di sana. Kemudian menjadi pupuk lalu menyuburkan pohon-pohon baru. Karena hancur bukan berarti mati. Hancur bukan berarti berhenti. Kau tau.

"Tapi kita bisa membawa rumah ke sini," katanya. Thomas menelan ludah, menatapku. "Aku ingin menikahimu, Jane."

Thomas mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah cincin. Berkilauan di depan mataku.

Mataku berkaca-kaca. Tapi senyumku malah berganti tawa karena terlalu bahagia. "Semudah itu kau melamarku? Apa kau tidak merasa perlu berlutut padaku?"

Dia tersenyum sambil mendekat padaku. Dia menarikku pada tubuhnya, kemudian menyematkan cincin itu di jariku. "Tidak."

Akan selalu ada alasan untuk mencintainya. Aku membenarkannya.

- END -

-

-

-


Finished writing in December 2017 (sadly I didn't save the date T_T)

Final publish at January 21st 2018

Final edit+publish at September 9th 2018

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang