Chapter Three

4.3K 292 68
                                    

"When you love someone, but it goes to waste." – Coldplay

-

-

Thomas menyarankanku untuk mandi dengan air hangat agar badanku merasa lebih baik dan aku menyetujuinya. Selepas mengganti pakaianku, aku menemui Thomas yang sedang bertopang dagu di ruang tengah sambil memperhatikan fotoku dan Glenn yang dipajang di atas buffet. Aku mendesah pelan.

"Jangan lihat itu," pintaku. Aku menghampirinya dan meletakkan bingkai foto itu secara terbalik sehingga kami tak bisa melihatnya.

"Jadi ini Glenn?" tanyanya lalu aku mengiyakan. Thomas menimbang-nimbang sebelum mengatakan "dia tampan," kemudian dilanjutkannya dengan "tapi aku lebih tampan."

"Kau bisa pulang, Thomas. Aku tarik kembali ucapanku. Kau tau aku tak serius pada kata-kataku tadi."

Thomas terkekeh. "Memangnya apa rencanamu? Apa yang kau inginkan?"

"Untuk memintamu tinggal?" tegasku. Dia mengangguk. Aku menggigit bibirku. "Aku tidak tau. Aku tidak punya rencana."

Thomas terdiam menungguku melanjutkan kalimatku. Padahal aku benar-benar tidak tau apa yang bisa kukatakan, atau tepatnya, yang kuinginkan saat ini.

"Thomas," panggilku.

"Ya?"

Thomas bisa saja melakukan hal tak terduga padaku jika kami hanya berdua di sini. Tapi intuisiku mengatakan bahwa dia bukan orang semacam itu.

"Mengapa kau menerima ajakanku?"

Dia melangkah mendekat padaku. "Entahlah. Untuk mencegahmu bunuh diri?"

Aku mempertajam tatapanku. "Hei, aku tidak segila itu!" bantahku. Tapi setelah itu, kuhela nafas berat. "Yah, tentu saja aku bisa segila itu."

Thomas memandangku prihatin. "Setidaknya, kau tau kau tidak akan menangis sendirian malam ini."

"Kau pikir aku akan menangis lagi?" Kutatap matanya, memintanya mengalah. Tapi kemudian kuusap wajahku dengan kedua tangan. Sial. Dia benar lagi. "Terimakasih ya telah mengingatkanku," balasku dengan nada penuh sindiran.

Dia terkekeh. "Aku tau ini privasimu, Jane. Tapi ayolah, kau bisa mengandalkanku. Itulah gunanya teman."

Aku menyandarkan bokongku pada buffet. "Well, terus terang saja. Bagaimana bisa aku tidak terluka sedangkan ia telah membuatku kecewa."

Thomas melompat ke atas sofa. Dagunya ditopangkan di atas tangannya yang dilipat pada punggung sofa seakan bersiap mendengarkanku. Aku memutar bola mataku. "Aku bukannya akan membacakan dongeng untukmu."

Aku menghampiri sofa lalu duduk di sampingnya. Dia masih menatapku dengan seksama. "Aku tau," katanya.

Kuarahkan pandanganku pada langit-langit. "Aku bahkan tak tau harus mulai dari mana."

Aku tak ingin membicarakannya sebenarnya, tapi aku rasa perlu untuk membiarkan Thomas mengetahuinya. "Waktu itu, sahabatku Vern memintaku menemaninya pada pesta yang diadakan partner bisnis Ayahnya. Disanalah aku bertemu dengan Glenn. Aku berpasangan secara tidak sengaja dengannya saat berdansa. Saat bertemu dengannya terasa seperti sudah pernah mengenalnya sebelumnya. Kau tau? Rasanya seperti kami memang diciptakan untuk satu sama lain."

Thomas masih mendengarkanku dalam diam.

"Glenn menyatakan cinta padaku satu bulan setelah itu. Hubungan kami hampir satu tahun lebih jika dihitung sampai hari ini. Aku pikir aku tak pernah salah menilainya, tapi ternyata aku begitu bodoh. Mungkin satu-satunya alasan mengapa ia tertarik padaku adalah.. karena aku terlihat mudah dibodohi." Aku menoleh, mendapati Thomas yang kini semakin dekat denganku hingga nafas hangatnya menyentuh pori-pori pipiku.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang