Chapter Fifteen

2K 173 6
                                    

"Could you come home, come home forever? Surely things in the band keep us together." - Coldplay

-

-

Aku sampai pada sebuah rumah berpagar biru tua, dibangun dengan bata merah alami dan tanaman ivy yang menjalar pada sekeliling dindingnya. Rumah itu memang tampak lebih besar dibandingkan rumah kami dulu, namun atmosfirnya terasa lebih kosong dan dingin. Aku mendorong pintu pagar yang berdecit, menelusuri jalan setapak yang menghubungkanku dengan pelataran rumah. Bahkan sampai detik inipun, keraguan masih menghinggapiku sampai akhirnya aku berani mengetuk pintu.

Tak lama, seorang wanita berusia hampir separuh abad muncul dari balik pintu. Saat ia melihatku ekspresinya menjadi sulit terbaca, antara terkejut dan senang, antara canggung dan gelisah. Tapi di atas semua itu, dia tersenyum. Begitu tulus kepadaku. Kedua bola mata abu-abunya yang dulu pernah bersinar tak dapat membohongiku. Dia senang melihatku, aku tau.

"Janey?" panggilnya. Aku mendengar suaranya untuk pertama kalinya setelah dua tahun terakhir. Suara itu, suara yang dulu sering menenangkanku di saat aku sedih, gelisah, takut. Begitu familier ditelingaku. Tak ada banyak perubahan kecuali pada nadanya yang terdengar lelah.

"Hei. Mom." Aku terdengar begitu kaku saat memanggilnya. Seakan-akan nama panggilan itu begitu asing, terasa pahit di lidahku.

Mom menelitiku dari ujung kepala ke ujung kaki seperti baru saja menemukan jenis alien baru di depan rumahnya. "Kau.. kau tumbuh besar."

"Tentu saja aku tumbuh besar," ucapku. Aku harap aku tidak terdengar kasar.

Mom meraih pipiku, mengelusnya, lalu menyisir rambutku dengan jarinya. "Kau terlihat.. hebat, kau tumbuh dengan baik tanpaku."

Tumbuh dengan baik tanpaku, katanya.

Bagaimana seorang anak bisa tumbuh dengan baik tanpa ibunya?

"Mom.." panggilku. Aku menggigit bibir bawahku. "Maukah kau membiarkanku masuk?"

Mom tersentak, lalu melepaskan tangannya dari kepalaku. "Oh, maafkan aku. Tentu, sayang, masuklah. Akan kubuatkan teh limun hangat untukmu."

***

Di belakang rumah, aku dapat melihat waduk kecil yang memantulkan bayangan pohon-pohon maple di atasnya. Dulu sebelum aku pindah, waduk ini masih dibangun dan belum sepenuhnya selesai. Sekarang, tempat ini menjadi titik yang sangat bagus untuk melihat pemandangan ini. Rumah ini begitu tenang, pilihan yang bagus ketika kau sedang ingin menyendiri. Hanya berdua dengan pikiranmu.

Mom datang dari balik punggungku. Dia membawa nampan berisi dua cangkir teh limun hangat dan meletakkannya di atas meja. "Cantik, kan?"

Aku menoleh ke belakang. Mom sudah duduk pada kursi di samping meja. "Ya."

"Duduklah disini, dear." Mom menunjuk kursi yang berseberangan dengan miliknya. Aku mengikuti kata-katanya.

"Aku senang melihatmu disini," ungkapnya. Kami terdengar begitu kaku untuk sebuah hubungan antara Ibu dan anak kandung. Aku tersenyum tapi aku juga tak begitu yakin. Aku bukannya tak merindukannya, namun aku tak dapat melupakan apa yang telah dia lakukan pada keluarga kami.

Pertama, Mom telah menjual rumah kecil kami dan membeli rumah baru ini. Aku mengerti bahwa hasil penjualan rumah digunakan untuk biaya pengobatan Dad, dan rumah ini memang sedikit lebih besar dan indah. Tapi Mom menolak permintaanku untuk mempertahankan rumah lama kami. Rumah yang telah kami tinggali bahkan sebelum aku lahir, rumah yang menyimpan sejarah dan kenangan, termasuk segala kenangan tentang Dad. Rumah itu seakan menyatu dengan roh kami. Mom bahkan tidak memperjuangkannya kembali sehingga rumah itu kini telah jatuh ke tangan orang lain.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang