Chapter Seven

2.9K 243 7
                                    

"When I look in your eyes, I forget all about what hurts." – Coldplay

-

-

Sedikitnya aku dapat mengenali mereka.

Tina yang bersahabat dan memiliki kepercayaan diri yang matang. Seakan semua orang akan secara otomatis senang jika berbicara dengannya dan mustahil untuk tidak menyukainya. Di samping Tina adalah Conrad, pacarnya. Dia tenang dan tak banyak bicara. Tubuhnya tinggi tegap, memiliki alis yang rendah dan sorot mata yang lembut. Dari sudut matanya, aku dapat melihat jelas bahwa Conrad benar-benar jatuh cinta pada gadis yang bersandar pada bahunya itu.

Max, si cowok rambut pirang yang paling banyak bicara meskipun kosong, dan bertingkah konyol. Dia satu-satunya penyebab meja kami menjadi meja paling ricuh. Hugh, mereka menyebutnya Richie Rich. Aku tidak tau ada masalah apa antara dia dengan Max, tapi Hugh terus-terusan mengolok Max, berdebat dengannya. Sebagai seorang sahabat dekat tentunya. Dan Max tidak bisa lebih menang dari Hugh.

Jessie, sama seperti Hugh. Mereka bekerjasama untuk mendebat Max. Berkebalikan terhadap Hugh, Max tak mau sedikitpun terlihat dikalahkan oleh cewek. Bailey, cewek yang tubuhnya paling tinggi dan kurus, namun juga yang paling banyak makan. Mulutnya sibuk menikmati makanan yang ada di hadapannya dengan sepenuh hati tanpa terlalu peduli dengan pembicaraan teman-temannya. Juga Karren yang tak terlalu banyak bicara, dan seorang peminat fotografi. Dia memiliki kamera digital yang selalu ada di genggamannya. Ketika sedang tertawa, matanya menyipit seperti bulan sabit dan memiliki suara tawa yang lembut.

Dan Thomas. Dia duduk di sampingku. Aku melihat hidungnya berkerut saat tertawa. Thomas menanggapi interaksi mereka pada kami sesekali sambil melahap kentang gorengnya satu per satu. Thomas adalah satu-satunya yang paling kukenal diantara mereka. Satu-satunya yang membawa suasana rumah padaku.

Aku tau dia merasakan hal yang sama. Meskipun aku tak banyak mengerti apa yang mereka bicarakan, rasanya ada banyak kupu-kupu yang menggelitik perut sehingga tawa meluncur begitu saja dari mulutku. Seakan akan jantungku ikut melambung tinggi. Seakan tubuhku tengah melayang-layang bersama mereka.

Mereka bagaikan film lama yang diputarkan di hadapanku secara nyata. Mereka membawaku kembali pada momen-momen yang begitu kurindukan. Momen dimana dunia adalah sesuatu yang bisa kau yakini bahwa segalanya akan baik-baik saja. Bahwa ketika kau terluka, kau tau kau selalu bisa menyembuhkan dirimu sendiri. Bahwa kau bisa melaluinya. Bahwa kau akan tersenyum pada akhirnya. Dan mereka menularkan senyum itu padaku. Begitu saja, layaknya terjangkit dengan alami.

Bahkan ketika tiba-tiba nama Glenn muncul di kepalaku, mereka punya sesuatu yang magis untuk mengenyahkan nama itu tanpa memerlukan usaha besar. Glenn tidak lagi mengusikku, bahkan saat ini hanya seperti angin lalu. Mungkin mereka keajaiban. Atau hadiah dari Tuhan. Seakan Tuhan bermaksud menyadarkanku bahwa kesedihan bukan selamanya milikku.

Anehnya, aku belajar dari mereka yang baru saja kutemui. Mereka masih muda dan disitulah dimana semua kesalahan terjadi. Dan setiap orang melakukan kesalahan. Jadi, tidak ada yang perlu kau khawatirkan selama kau berusaha untuk memperbaiki. Kadang-kadang, ada baiknya belajar dari orang yang usianya lebih muda darimu agar mengingatkanmu tetap rendah hati.

***

Saat keluar dari pintu restoran, Tina menyenggol lenganku. "Berikan nomormu padaku sebelum kau pergi."

"Tentu." Aku tersenyum dan meraih ponselnya, mengetikkan nomorku dan menyimpannya untuknya.

"Kau tau? Aku pernah bertemu dengan banyak teman baru secara tidak sengaja tanpa bertukar kontak dengan mereka. Rasanya begitu menyesal ketika ada saat aku bertanya-tanya bagaimana keadaan mereka sekarang," curah Tina.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang