Chapter Thirty-Seven

2.6K 180 8
                                    

"And nothing else compares. You are, you are." - Coldplay

-

-

Jika kau tanya mengapa aku tidak juga menyerah, itu karena aku tidak tau apakah aku bisa menemukan orang lain selain dirinya.

Dia tidak sebaik itu tentunya. Kadang-kadang, Thomas iseng dan menjengkelkan. Thomas juga berkata kasar khususnya pada zona ternyamannya, meski seringnya aku merasa caranya sama sepertiku. Thomas menyebalkan karena tidak mudah dibaca hatinya, karena dia tidak bisa mengatakan segala hal padaku. Thomas kikuk jika itu menyangkut perasaannya, hanya karena dia tidak bisa selalu mengerti apa yang benar dan perlu dilakukannya.

Thomas tidak sempurna dan itulah yang membuatku menyukainya.

Aku meremas bajuku untuk meredam tanganku yang gemetar. Kakiku bergoyang-goyang, aku tidak bisa tenang. Aku berdoa di sela-sela nafasku yang terhela berat. Mobil-mobil yang berada di hadapanku seakan berperan sebagai musuh, menghalangi taksi yang kutumpangi untuk berjalan lebih cepat dari yang diharapkan. Jika saja aku bisa mengosongkan jalan ini, jika saja aku bisa mempercepat kecepatannya hingga 1000km/jam, jika saja aku bisa menemuinya tepat sedetik setelah aku mengetahui keadaannya.

Jika saja aku selalu bersamanya.

Benakku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Bagaimana jika aku tak termaafkan? Bagaimana jika aku tak sempat mengungkapkan sebelum waktunya? Bagaimana jika aku terlalu terlambat?

Setelah perjalanan yang seakan tak berujung, aku sampai di rumah sakit menyusul Maggie dan Grant yang sudah sampai lebih dulu. Aku berlari menyusuri lorong, mencari dimana Thomas ditempatkan. Kakiku seperti melayang. Aku tak dapat memikirkan apapun. Aku harap dia baik-baik saja sampai aku datang.

Aku menemukan Grant dan Maggie yang sedang berdiri di depan pintu ruang UGD. Tanpa mengurangi kecepatan berlariku, aku menghampiri mereka dengan putus asa. Mereka melihatku dengan belas kasih.

"Dimana Thomas?!" ucapku bergetar. Nafasku terengah-engah. Aku menerobos mereka dan mencoba membuka pintu, namun aku tak dapat membukanya. Aku mendobraknya tapi tak berhasil, Grant memegangi lenganku.

"Thomas tidak sadarkan diri," jelas Maggie. Matanya menyiratkan kekejaman begitu mengungkapkannya, tapi dia tau bahwa itulah hal yang perlu kuketahui.

Detak jantungku seakan ikut berhenti selama beberapa saat. Nafasku tercekat. Kemudian setelah itu aku sesenggukkan. Aku menangis seraya tubuhku merosot ke lantai. Aku menangis sejadi-jadinya. Tubuhku menggigil. Mataku terpejam merasakan tubuhku kebas. Seluruh organku mati rasa. Satu-satunya yang bisa merasakan sakit hanyalah hatiku. Dan satu-satunya rasa sakit itu begitu dalam dan perih dan menyiksa.

Saat itu rasanya aku tenggelam dalam angkasa gelap gulita. Aku tak bisa melihat apapun selain resiko kehilangan yang memerangkapku dimanpun aku berada.

***

Melalui empat jam penantian yang membunuhku perlahan, akhirnya pintu itu terbuka. Seorang perawat keluar dari sana. Tanpa menghiraukannya, aku melangkah masuk. Grant dan Maggie nampak membiarkanku dan menghampiri sang dokter. Segala yang kupikirkan hanyalah dirinya, dan menemukannya dalam keadaan baik-baik saja.

Lalu aku melihat Thomas yang terbaring lemah dengan luka-luka di seluruh tubuhya. Kepalanya berbalut perban. Matanya terpejam. Layar CGI menunjukkan detak jantungnya yang masih berdenyut. Thomas masih hidup. Air mataku kembali mengalir entah untuk alasan apa.

Aku membungkuk di sampingnya, mensejajarkan wajahku dengannya. Luka itu menggores bibirnya yang terkatup, pipinya, dahinya. Tubuhku melemah. Aku tak sanggup melihatnya terluka seperti ini. Thomas pernah kecelakaan motor sebelumnya. Saat itu aku belum benar-benar menyadari perasaanku. Saat itu aku belum mengetahui perasaannya padaku. Saat itu tidak separah saat ini.

Andai aku dapat memutar waktu.

"Thomas.." panggilku lirih. Kuusap pipinya. "Bangunlah. Ini aku Jane."

Tak ada jawaban. Aku memanggilnya lagi. Mengulang kalimat yang sama. Mengucap permintaan yang sama. Tetap tak ada jawaban. Aku merunduk, menyandarkan dahiku pada bahunya. Bibirku mencebik membendung tangis. Setetes air mataku jatuh pada kausnya. "Kumohon, jangan tinggalkan aku.."

Aku menangis dalam diam. Kuhirup bajunya yang beraroma antiseptik. Harumnya sama seperti Dad waktu itu. Sama seperti saat sebelum beliau pergi. Aku memejamkan mata. Jangan.

Sedetik kemudian, aku mendengar nafasnya yang tertarik dengan berat, nyaris seperti orang mendengkur. Lalu dia menghelanya perlahan. Ketika nafasnya kembali terdengar normal, kelopak matanya terangkat pelan-pelan. Dia tidak membukanya selebar biasanya, tapi aku yakin dia masih bisa melihat wajahku.

"Thomas.. kau bisa dengar aku?" Aku bangkit mendekat.

Bola matanya bergerak mencari-cari sumber suara. Thomas melihatku, namun tak berkata apapun. Matanya menganalisisku, seakan sedang mengingat-ingat. Jantungku berdegup dengan sangat cepat. Benakku dipenuhi kekhawatiran dan harapan menunggu responnya.

Thomas membuka mulutnya. Suaranya berbisik, hampir tidak terdengar. "Jane.."

Dadaku dipenuhi kelegaan. "Thomas, syukurlah.. Tuhan memberkatimu." Aku mengusap pipinya lagi, juga punggung tangannya dengan sangat pelan. Takut-takut sentuhanku bisa menyakitinya.

"Jane.." panggilnya lagi lebih kencang. "Kotak itu.. itu bukan milikku."

Kotak? Dia sedang sekarat dan masih membicarakan tentang kotak itu?

Aku mengangguk. Air mataku berlinang ketika aku meraih tangannya untuk menciumnya. "Aku tau. Aku tau sejak awal. Tak apa-apa."

Dia berbicara lagi, dengan penuh usaha. "Diana yang membawanya.. Aku takut kau akan salah paham.. Kau tidak menjawab panggilanku.. Aku berusaha mencarimu.. tapi aku tidak menemukanmu.."

"Aku disini." Aku menggenggam tangannya, menyandarkannya pada pipiku. "Kau sudah menemukanku."

Bibirnya mungkinterluka, tapi dia tetap tersenyum untukku. "Kau menemukanku."

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang