Chapter Twenty

1.8K 169 24
                                    

"Ask me so sweetly, what do I do? And who do I sing for? Well, honey I sing about you." – Coldplay

-

-

Hujan memang tidak sampai membunuhku. Tapi tampaknya mereka telah mengutuk pernyataanku untuk tetap baik-baik saja.

Setelah hujan mengguyurku deras di taman hiburan kemarin, aku mendapati suhu tubuhku meningkat. Tubuhku seperti memiliki kelebihan bobot yang membuatku sulit bergerak, dan seakan aku memiliki sebongkah batu besar yang menindih bagian atas kepalaku. Hidungku terasa disumpal sesuatu sehingga aku sulit bernafas. Sepertinya aku demam.

Saat aku terbangun dengan keadaan sekacau ini, hal pertama yang kulakukan adalah menelepon Vern. Aku mengatakan padanya untuk mengurus absensiku dan memback-up pekerjaanku. Aku akan sangat merepotkannya tapi untunglah, Vern begitu pengertian. Dia bilang bahwa dia akan meluangkan waktu untuk menjengukku nanti. Aku mesti memberikannya sesuatu atas hal manis yang telah dilakukannya untukku.

Aku masih berbaring di tempat tidurku. Tubuhku tak cukup sanggup berbuat apapun. Jadi aku memejamkan mataku lagi untuk mengistirahatkan diriku. Aku tau bahwa menambah jam tidurku bukanlah hal yang paling kubutuhkan untuk saat ini, melainkan energi. Aku butuh banyak asupan energi.

Mataku terpejam, tapi aku memutuskan untuk memaksa diriku bangkit dengan tenagaku yang tersisa. Ketika aku membuka mataku, aku melihat sebuah tangan besar yang menutupi pandanganku dan mencoba meraih wajahku. Aku terhenyak. Dilanda rasa panik, aku menjauhkan tubuhku dari pemilik tangan itu. Aku menarik diriku dari selimut yang menutupi separuh tubuhku.

Jantungku berdetak lebih keras seiring denganku yang masih mencoba mengumpulkan penuh kesadaran, hingga akhirnya aku dapat melihat jelas seseorang yang berdiri di hadapanku. Mendadak kakiku kembali lemas tak berdaya. "Sialan, Thomas."

Thomas terkekeh, lalu dia duduk di sampingku. Dia membaringkan kakinya yang jenjang di sepanjang ranjangku.

"Tunggu dulu, apa yang kau lakukan disini? Bagaimana kau bisa masuk ke dalam kamarku? Kau menyelinap atau mencuri kunciku? Betapa tidak sopannya!"

"Apa? Penyelinap? Itulah yang ingin kutanyakan padamu! Bagaimana bisa kau tidak mengunci pintu utamamu? Lalu membiarkan pintu kamarmu terbuka lebar? Bagaimana jika ada pencuri yang datang mengambil barang berhargamu, atau melakukan sesuatu yang buruk padamu, kau bodoh!"

Benarkah? "Aku tidak menguncinya?"

Oh ya, tentu saja. Ciuman di bawah hujan itu membayangiku seharian penuh. Aku seakan kehilangan fokus total karenanya. Pekerjaanku berantakan. Bahkan sampai saat ini momen itu masih menjadi momen yang mampu membuat tubuhku memanas. Aku belum pernah berciuman dengan cara seindah sekaligus erotis itu sebelumnya. Aku belum pernah dicium dengan cara seperti itu sampai Thomas melakukannya untukku.

"Oh, hebat. Aku benar-benar lupa. Tuhan memberkati untuk segala hal buruk yang tak terjadi." Aku membaringkan tubuhku lagi, merasakan sesuatu menjalari kepalaku yang seketika kembali berdenyut-denyut. Aku memejamkan mataku berharap dapat mengurangi rasa sakitnya.

"Kau tidak terlihat baik? Apa kau sakit?" tanyanya. Aku merasakan telapak tangannya menyentuh dahiku. Sentuhannya menenangkan, sekaligus membuat tubuhku semakin melemah. Dari tangannya, aku tau temperaturku benar-benar meningkat jauh.

"Ya Tuhan! Tubuhmu sangat panas!"

Ouch. Kenapa yang kudengar adalah, tubuhmu sangat seksi?

"Kau tidak bisa menyatakan tubuhku sangat panas ketika kau hanya menyentuh dahiku," gumamku dengan mata yang masih terpejam, sesaat sebelum aku menyadari ada yang ganjil dengan kata-kataku. Aku membuka mataku, menangkap persis apa yang sedang berada dalam pikirannya. Sorot matanya yang memandang wajahku berpaling pada bagian atas tubuhku.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang