Chapter Seventeen

1.8K 172 1
                                    

"Oh, love don't let me go. Won't you take me where the streetlights glow?" - Coldplay

-

-

Hebat.

Aku tak bisa berhenti memikirkannya hingga akhir dari hari kerjaku.

"Janey, maukah kau pulang bersamaku?" tanya Vern di sisi bahuku ketika aku baru saja selesai mematikan layar komputerku, kemudian memasukkan barang-barangku ke dalam tas. Menyadarkanku dari berbagai fantasi yang entah bagaimana dengan tidak sengajanya tercipta secara alami dalam otakku. Fantasi tentangnya.

"Kemana Jamie?" aku balas bertanya sekenanya. Ini sungguh sinting, dalam waktu setidaknya selama matahari bersinar di California, Thomas terus membayangi imajiku, berputar di dalam kepalaku seperti sebuah gulungan film rusak yang terus mengulang kejadian yang sama. Tentang apa yang telah terjadi diantara kami tadi pagi. Mengambil alih segala perhatianku.

"Jamie tak bisa menjemputku. Dia menjadi sangat sibuk akhir-akhir ini. Ah, aku benar-benar sangat merindukannya."

Aku bahkan tak mengerti darimana hasrat itu bisa muncul dalam benakku. Segala fantasi mengerikan yang tak pernah bisa kuduga berasal dari tiap kepingan dirinya. Aku berangan-angan bagaimana jika hidung mancungnya berjarak kurang dari satu sentimeter dariku. Mestinya aku bisa mencium dengan jelas aroma menthol kuat yang berbaur dengan bau alami tubuhnya. Lalu ketika tangannya melingkari pingganggku, dan pelukannya membungkus torsoku, aku akan merasakan panas tubuhnya menyelimutiku. Dan detak jantungnya yang tenang membimbing detakku yang tidak keruan, melebur ke dalam satu irama. Menjadi candu dalam darahku.

Aku menginginkannya ada di sini bersamaku, adalah satu hal yang kuyakini terjadi dalam diriku saat ini. Ini bukan pikiran kotorku yang mencetuskan permintaan konyol itu, melainkan kepada seluruh tubuhku yang tak bisa lepas dari setiap inchi figurnya. Tubuhku, menginginkannya berada di sisiku.

"Jane?"

Aku sedikit tersentak ketika Vern memanggil namaku. "Oh oke! Aku akan pulang denganmu."

Ya ampun. Aku menjadi sangat tidak fokus hanya karena seorang pria, seseorang yang berhasil membuatku seperti wanita gila yang rela berlari setelah melakukan perjalanan beratus-ratus meter hanya untuk mendapatkan sebuah ciuman darinya. Menjijikkan. Oke, aku tau, aku sangat menjijikkan.

Tapi setelah dipikir-pikir, kurasa aku tidak akan menyesalinya dalam waktu dekat.

Karena, aku sangat menyukai itu.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" Aku dapat melihat Vern dengan dahi berkerut, kecewa atas sikapku yang seperti kekurangan hampir seluruh cairan dan ion tubuh. Sial, Jane, kembalilah ke dunia nyata!

"Uhm.." Aku tidak tau bagaimana harus menjawabnya. Vern tidak akan percaya padaku jika aku mengatakan bahwa aku tidak sedang memikirkan apapun. Jadi aku menjawab, "sesuatu yang tak perlu kau ketahui."

Vern menaikkan sebelah alisnya. "Mencurigakan," dia mengelus-ngelus dagunya menggunakan jari tangannya yang lentik. Setelah itu, sebuah senyum menyeringai terukir di sudut bibirnya. "Tapi tenanglah, aku tak akan memaksamu. Aku akan mencari tahunya sendiri."

Aku mengedikkan bahu, tak mau berdebat lebih lanjut. "Terserahlah."

Aku berjalan berdampingan dengan Vern menuju tempat parkir. Seketika kedua mataku membulat ketika menemukan sosok yang menguasai pikiranku selama beberapa jam terakhir. Aku terpegun. Pria itu duduk di sana, di atas motornya, memandangi langit senja yang memayungi gedung-gedung pencakar langit di balik punggungnya. Angin sejuk meniup pelan rambutnya dan cahaya matahari yang menyorot dari arah barat membayangi siluet wajahnya. Dari tempatku berdiri, dia terlihat begitu.. bercahaya.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang