09.

140 140 80
                                    

"Kenali sebelum memiliki, karena yang pasti, harusnya sulit dimiliki."

A L B I R U dan Ayasya berjalan cepat di koridor rumah sakit dengan cemas. Setelah mendapat telpon dapri Dinda, mereka memutuskan untuk membatalkan rencana mereka pergi ke mall  dan memilih untuk langsung ke rumah sakit.

Albiru dan Ayasya yang melihat Dinda sedang duduk di bangku rumah sakit, langsung mendekati wanita itu, dan berdiri di depannya. Dinda yang mengetahui keberadaan mereka, langsung berdiri, memeluk keduanya bersamaan.

Wanita itu tidak memiliki seorang anak perempuan, jadi Ayasya sudah seperti seorang anak baginya, begitupun sebaliknya. Bagi gadis itu, Dinda adalah ibu keduanya.
Ayasya dan Albiru mengelus punggung Dinda. Wanita itu terisak, lalu meregangkan pelukannya.

"Tante jangan nangis," Ayasya menghapus air mata Dinda. "Kalo tante nangis, siapa yang bakal meluk Alfi, Tan?" tanyanya lembut.

Walaupun Ayasya masih tidak mengingat Aldafi. Tapi ia sudah tahu kalau Aldafi adalah kembarannya Albiru, yang berarti ia juga harus ikut peduli pada laki-laki itu.

"Iya, Sayang. Makasih, ya!" Dinda tersenyum dan mengelus rambut Ayasya, membuat Ayasya tersenyum mengangguk.

"Mih, ini ceritanya gimana, Mih? Kenapa Alfi tiba-tiba masuk rumah sakit?" tanya Albiru.

"Mami juga gak tau, Mami tiba-tiba dapet telpon dari rumah sakit, kalo Alfi drop lagi," gumam Dinda terisak.
Drop? Dia kenapa, ya?  pikir Ayasya.

"Terus, gimana kondisi Alfi sekarang, Mih?" tanya Albiru lagi.

"Dokter bilang Alfi harus segera mendapatkan donor jantung," jawab Dinda sedih.

Hah? Jadi, jantung dia bermasalah?  tanya Ayasya dalam hati.

Jadi selama ini lo sakit jantung, Fi?  Albiru memijit kepalanya, lalu tertunduk sedih.

Albiru baru tahu kalau Aldafi sakit jantung. Selama ini kembarannya itu hanya mengatakan bahwa dia sakit dan tidak menyebutkan apa rasa sakit yang dirasakannya. Ayasya yang melihat kesedihan di wajah kekasihnya, langsung mendekati laki-laki itu, dan mengelus bahunya.

"Semua pasti ada jalan keluarnya, Al," Ayasya tersenyum lembut.

"Aku percaya itu, Sya," Albiru mengulas seringai tipis.

"Al, Sya," panggil Dinda, membuat Ayasya dan Albiru langsung menatapnya. "Kalian temuin Aldafi, ya,"

"Ya udah, ayo, Mih!" ajak Albiru.

"Enggak, Mami gak bisa," Dinda menolak lembut.

"Loh, kenapa, Tan?" tanya Ayasya.

"Tante belum siap ngeliat Aldafi, Sya," sahut Dinda terlihat murung.
Lah, kenapa?  tanya Ayasya dalam hati.

"Mih, Mami kenapa, sih?! Semenjak Papi ninggalin kita, Mami jadi berubah! Mami gak sayang sama Alfi, dan Mami juga udah misahin Albi sama Alfi!" Albiru marah. Dinda pun kembali meneteskan air matanya. "Kenapa, Mih?!"

"Al, kamu apaan, sih?!" tegur Ayasya mulai kesal karena Albiru meninggikan nada bicaranya pada maminya sendiri.

"Sya, aku harap kamu gak ngelarang aku buat nanyain ini sama Mami. Aku berhak tau semuanya, Sya!" Albiru berusaha menahan emosinya.

"Tapi kamu jangan sampai kurang ajar, Al! Aku yakin mami kamu punya alasan sendiri, dan aku yakin alasannya bukan karena mami kamu gak sayang sama Aldafi!" Ayasya mulai meninggikan suaranya.

"Ya terus, apa alasannya, Mih?" Aldafi kembali menatap Dinda yang sedang terisak. "Bilang sama Albi, biar Albi gak salah paham, Mih!"

"Al, Kamu gak bisa, ya, ngebentak mami kamu kayak gitu!" bentak Ayasya memperingatkan.

Permainan Ingatan Where stories live. Discover now