27.

86 54 54
                                    

S E H A R I A N  ini, Albiru tidak menunjukkan batang hidungnya di depan Lusi. Wanita tua itu pun berjalan lambat mendekati kamar Albiru. Ia membuka pelan pintu kamar itu, dan memasukinya perlahan.

Lusi mendekati Albiru dan duduk di kasur laki-laki itu. "Albi...." Ia membelai rambut Albiru.

Albiru tidak menjawab. Laki-laki itu terus memejamkan matanya. Wajahnya terlihat pucat. Ia berkeringat dingin dan menggigil.

"Albi, kamu sakit, Sayang?" Lusi menempelkan punggung tangannya di dahinya Albiru. "Kamu demam, Al,"

"Sya," Suara serak itu, langsung memanggil Ayasya. "Dingin...."

Mata Albiru tertutup rapat, namun kedua sudut matanya itu mengalirkan air mata.

"Peluk aku, Sya...," Tubuh laki-laki itu bergetar. "Aku takut sendirian...."

Lusi langsung menggenangkan air mata melihat kondisi cucunya saat ini. Tangannya bergerak menghapus air mata Albiru. Bibirnya naik mencium pelan kening laki-laki itu. Lusi menunduk, menempelkan keningnya di pipi laki-laki itu.

Mengapa takdir orang-orang baik selalu seperti ini, Tuhan....

Lusi menaikkan pandangannya. Ia menatap pedih Albiru, lalu menepuk pelan pipi laki-laki itu. "Albi, bangun, Sayang...."

Mendengar isakan Lusi, Albiru perlahan membuka matanya. Matanya memerah. Air mata turun begitu saja membasahi wajahnya.

"Maaf, Nek." ucap pelan Albiru. "Nenek jadi nangis karena Albi,"

Lusi yang tak tahan melihat rasa sakit cucunya itu, langsung meraih tangan panas Albiru, lalu menggenggamnya kuat. "Kita ke dokter, ya...."

Albiru menggeleng. "Albi capek, Nek,"

Laki-laki itu menatap kosong langit-langit kamarnya. Senyuman lemah nan sendu tercetak begitu saja di bibir tanpa warnanya.

"Albi rindu Tuhan,"

***

Malam tiba. Albiru mengerjapkan matanya dan memegang pelan sapu tangan yang ada di keningnya. Karena ia tidak mau dibawa ke rumah sakit, Lusi pun berinisiatif mengompes laki-laki itu untuk menurunkan panasnya.

Albiru bangkit perlahan dan mengambil ponsel untuk mengecek, ada pesan masuk atau tidak. Namun, setelah layar pipihnya menyala, ia langsung terkejut membaca sebuah pesan dari Dary.

Selamat! Karena kebaikan lo, Ayasya udah mutusin lo.

"Enggak!" Albiru menggeleng tidak percaya. "Gue gak mau kehilangan Ayasya!"

Kalau saja Albiru tidak berbesar hati memberikan Ayasya pada Aldafi, mungkin semua ini tidak akan terjadi, dan setelah nasi sudah menjadi bubur seperti ini, apa yang bisa dilakukan laki-laki itu?

***

Setelah Ayasya memutuskannya, Aldafi drop dan kembali lagi dilarikan ke rumah sakit. Sekarang wajahnya semakin pucat, ia tengah duduk bersandar di ranjangnya sambil melamun. Air mata terus mengalir di pipi laki-laki itu, ucapan Ayasya benar-benar menghantui pikirannya.

Permainan Ingatan Where stories live. Discover now