15. Bunda (2)

88.3K 6.6K 954
                                    

Qila membuka matanya perlahan. Seingatnya, ia tak sengaja tertidur saat sedang menangis di atas dinginnya lantai kamar. Namun, bagaimana bisa posisinya saat ini berada di atas kasur dengan selimut kupu-kupu yang menutupi hampir seluruh tubuhnya?

Qila menggerakkan tubuhnya perlahan yang masih terasa sakit. Ia melihat jam dinding yang berada di atas meja belajar miliknya dan Fiqa. Jarum pendek mengarah ke angka tujuh dan jarum panjang mengarah ke angka empat.

"Berarti, sekarang jam empat." Qila berucap pelan. Seingatnya, ia menelpon bundanya sekitar jam tiga siang. Ia ingat betul, sebelum menelepon, ia sempat melihat jam digital yang berada di dekat telepon rumah.

Qila memang masih bingung dengan cara membaca jam dinding. Tapi tidak dengan jam digital. Hari ini, ia dan Fiqa juga tidak dipaksa untuk tidur siang seperti biasanya. Hal itu membuat dua saudara kembar itu masih bermain di saat jam tidur siang anak-anak.

Qila memegangi perutnya yang berbunyi. Ia lapar. Tapi, ia tidak berani keluar kamar hanya untuk sekedar meminta makan. Ia yakin, di luar sana, papa dan mamanya masih marah dengannya. Ia juga tidak mendapati Fiqa di tempat tidurnya.

Qila kembali merasakan rasa perih di punggungnya. Perlahan, air matanya kembali jatuh. Ia kembali menangis dalam diam. Meresapi rasa sakit di tubuhnya. Kedua tangannya ia gunakan untuk menutup mulutnya. Ia takut suara tangisnya akan terdengar sampai luar.

Pintu kamar yang terbuka membuat Qila mengubah posisinya dari telentang menjadi miring, membelakangi pintu kamar. Tempat tidurnya yang berada di ujung membuat dirinya lebih dekat dengan dinding kamar.

Qila dapat merasakan sesuatu yang mendekat. Jantungnya semakin berdetak cepat. Ia takut jika dirinya ketahuan menangis.

"Qila, disuruh sama Papa makan." Suara Fiqa berhasil membuat Qila bernapas lega.

"Kamu nangis, ya?" tanya Fiqa penuh selidik. "Aku kasih tau Papa, ah." Fiqa membalik badannya. Berlari keluar kamar dan menuju ruang makan yang ada di lantai bawah.

Sial, Qila tidak bisa mencegah kembarannya. Ia langsung menghapus jejak air mata di pipinya. Mengusap wajahnya dengan selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya.

Masih dengan rasa perih di punggungnya, Qila memaksakan diri untuk bangun dari posisinya saat ini. Ia melangkah keluar kamar, menuruni satu persatu anak tangga sebelum akhirnya tiba di meja makan.

Qila dapat melihat mama, papa, dan kembarannya yang menunggu di meja makan. Apa ini makan malam? Bukan kah saat ini masih sore?

Qila berjalan dengan kepala yang tertunduk. Ia masih takut untuk menemui kedua orangtuanya. Jika bukan karena dirinya yang merasa lapar, ia tidak akan datang ke meja makan.

Qila duduk di kursi samping Fiqa. Mel duduk di seberang Qila yang masih menundukkan kepalanya saat duduk di atas kursi.

"Qila, tukeran tempat duduk, dong. Aku mau deket Papa," pinta Fiqa.

Qila menggeleng sebagai jawaban. Ia ingin berada di dekat papanya.

"Papa, Qila tuh, Pa." Fiqa mengadu. Aduan yang langsung membuat mood Qila memburuk. Mau tidak mau, Qila harus merelakan kursinya saat ini.

Gio hanya memperhatikan Qila yang langsung bangkit dari duduknya. Padahal, ia tidak menyuruh anaknya itu untuk merelakan kursinya. Diam-diam, Mel menatap iba kepada Qila.

Setelah membaca do'a sebelum makan, Qila langsung menyantap makanannya dengan lahap. Sepertinya, menangis hingga tertidur sangat menguras tenanganya.

"Mama, aku mau lagi." Fiqa menyodorkan piringnya yang masih terisi oleh lauk-pauknya.

"Abisin dulu makanannya. Nanti baru minta lagi," tegur Mel yang langsung membuat Fiqa memanyunkan bibirnya.

Oh Baby, Baby, Twins! (Selesai)Where stories live. Discover now