67. Teman Lama

79.4K 7.4K 1K
                                    

Fiqa sedang menunggu di depan sebuah ruang inap. Kedua kopernya ia letakkan tepat di sebelahnya. Sejak tadi, air matanya tak kunjung berhenti. Ia menyaksikan dengan jelas saat kakak kembarnya pingsan, dibawa ke sebuah ruangan yang ia tak tahu apa namanya, dan kemudian dipindahkan ke sebuah ruang inap.

Kejadian saat di dalam taksi tadi kembali terngiang. Saat ia memarahi anak itu. Jika bisa, ia ingin mengulang waktu. Ia menyesal telah memarahi Qila. Kali ini, ia benar-benar merasakan takut kehilangan sosok anak itu.

Sejak tadi, Mel merasa tidak tenang. Ia merasa sangat panik. Rasanya, air matanya sudah siap untuk berjatuhan. Namun, ia harus tetap terlihat kuat di depan kedua anaknya yang terus menangis.

Pintu ruangan yang terbuka membuat Fiqa berdiri. Ia ingin segera melihat keadaan kakak kembarnya.

"Gak boleh masuk dulu," cegah Mel.

Wanita itu beralih menatap dokter perempuan di hadapannya. "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"

"Anak Ibu terserang penyakit Tyfus. Jika telat dibawa berobat sedikit saja, nyawanya sudah terancam."

Mel menggigit bibir bawahnya. Rasanya, ia ingin berteriak saat ini juga. Ucapan dari dokter di hadapannya pun tidak ia dengarkan. Di pikirannya hanya ada Qila.

Dokter wanita itu memerhatikan wajah Aji dan Fiqa secara bergantian. Ia pun menatap Mel.

"Maura?"

Refleks, Mel mendongak. Ditatapnya dokter yang berada di hadapannya.

"Ya ampun, Maura. Apa kabar?" Wanita itu memeluk erat tubuh Mel.

Mel terdiam. Ia tidak sanggup untuk mengeluarkan kata-kata.

Dokter itu melepaskan pelukannya. "Oke, gue ngerti. Gue mau urus pasien yang lain, baru nanti ke sini lagi. Kalian udah boleh masuk, tapi jangan berisik."

Wanita itu mengusap rambut Fiqa sebelum pergi meninggalkan teman lamanya.

Mel melangkah memasuki ruang inap Qila. Dilihatnya anak kecil itu yang terlihat tak berdaya di atas ranjang dan selang infus yang tertempel di tangan kanannya.

"Qila, bangun." Kedua tangan Fiqa menggoyangkan tubuh anak itu.

"Gak boleh, Kak."

Fiqa mendongak, menatap wajah Mamanya. "Aku gak mau ditinggal Qila."

Mel menarik anaknya agar menjauh. "Kamu do'ain aja, ya. Supaya Qila baik-baik aja."

Anak kecil itu terduduk di atas sofa. Ruangan ini memang dilengkapi oleh dua buah sofa. Mel sengaja meminta anaknya dirawat di kamar yang hanya terdapat satu pasien di dalamnya.

Fiqa terlihat sangat sedih. Matanya sembab. Air matanya mulai mengering. Ia tidak mau hidup tanpa sosok Qila.

Mel memilih duduk di samping anak keduanya. Aji yang sudah terlelap masih berada dalam dekapannya. Ia berharap agar bayi itu bisa diajak kompromi selama menginap di rumah sakit.

Suara pintu yang terbuka terdengar. Refleks, Mel menoleh. Ditatapnya dokter wanita tadi yang sedang tersenyum.

"Hai, cantik!" Ia menyapa Fiqa.

Anak itu terdiam, semakin mendekatkan tubuhnya pada Mel.

"Ini siapa namanya?" Dokter itu mengusap lembut pipi Aji. Ia sengaja bertanya, supaya Fiqa menjawab.

"Gak usah diganggu." Mel menepis pelan lengan wanita itu.

Dokter itu tersenyum. Ia mengajak Mel untuk keluar ruangan. Fiqa tidak ingin ikut, ia lebih memilih untuk menjaga kembarannya. Ia takut jika ada orang jahat yang akan menculik Qila.

Oh Baby, Baby, Twins! (Selesai)Where stories live. Discover now