53. Papa itu Baik

70.3K 6.1K 660
                                    

"Kenapa sih Oma gak sayang aku lagi?! Kenapa?!"

Tanpa pikir panjang, Qila pun pergi meninggalkan dapur dalam keadaan menunduk.

Tepat saat itu pula, tubuhnya menabrak seseorang. Langkahnya pun terhenti.

"Ada apa?"

"Papa...?"

Gio menatap wajah anaknya dengan bingung. Disentuhnya pundak anak pertamanya.

"Papa, jangan pukul aku. Sakit...."

Qila pun menangis dengan tersedu-sedu. Kedua tangannya ia gunakan untuk menutup wajah.

"Qila ... jangan tinggalin aku...." Fiqa datang dengan kondisi yang juga menangis.

Gio semakin dibuat bingung. Suara tangisan Aji semakin membuatnya merasa bingung.

"Duduk dulu."

Setelah anak kembar itu duduk di atas sofa, Gio segera pergi ke dapur untuk memastikan apa yang sedsng terjadi.

"Jagoan Papa, kenapa nangis?" Pria itu mengambil alih Aji dari gendongan Oma yang sedang memasak. Tak lupa, ia mencium punggung tangan ibunya.

"Dedek Aji lapar. Buburnya lagi dibuat, gak sabar." Oma memberitahu.

Gio mengangguk paham. Ia pun mengambil biskuit yang di dalam lemari. Pandangannya teralih pada tumpahan bubur di atas lantai.

"Itu kok bisa tumpah?"

Dita yang sedang membersihkannya pun menjawab, "Iya, Pak. Tadi kesenggol Qila."

"Qila?" Kening Gio mengkerut. Anak itu, selalu saja susah diberitahu.

Baru ia ingin melangkah, Oma sudah menahannya.

"Gak apa-apa, Gi. Gak usah marah."

Aji yang sudah tidak menangis dan sibuk memakan biskuitnya, terus berceloteh.

"Lala jiji mam yis pa pa." Kepalanya mendongak, menatap wajah sang papa.

"Lala kenapa?"

Bukannya menjawab, Aji justru memajukan bibir bawahnya. "Hu hu hu. Lala jiji."

"Lala ngambek?"

Aji pun tertawa. Ia senang, ada yang mengerti maksudnya.

"Tadi Kaela tumpahin bubur kamu, kan?"

"Lala yis pa pa ma yis la."

"Dedek, buburnya udah jadi. Mamam yuk." Oma mengambil alih Aji.

"Aji termasuk pendek gak, Mi? Kok kayaknya dia mungil banget buat ukuran bayi cowok."

"Nggak. Masih kecil mah wajar, nanti juga tinggi sendiri."

"Tapi Aji masih belum bisa berdiri, Mi. Temen aku anaknya lebih kecil dari Aji, udah bisa diri."

"Aji kan pinter ya, Dek?" Oma mensuapi bayi itu. "Udah bisa ngomong, giginya udah ada."

"Gak bahaya, kan?"

"Ya nggak. Semua bayi itu beda. Mel yang dokter aja gak khawatir."

Gio mengangguk paham.

"Oh iya, aku mau liat si kembar dulu."

"Gi," Oma menahan lengan anak lelakinya, "jangan dimarahin."

Gio menatap wajah ibunya. "Kenapa?"

"Tadi Umi gak sengaja bentak Qila waktu tau buburnya tumpah. Dia pasti sedih banget. Soalnya dia langsung pergi. Jangan dimarahin lagi." Terlihat jelas dari raut wajahnya jika Umi sangat memohon pada anak pertamanya.

Oh Baby, Baby, Twins! (Selesai)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon