47. Bully

73.2K 6K 612
                                    

Malam itu, Qila terbangun dari tidurnya. Dapat ia lihat jam dinding di kamarnya yang menunjukkan pukul sembilan malam. Merasa haus, ia pun memutuskan untuk pergi ke dapur.

Saat baru sampai dekat dapur, ia mendengar kedua orangtuanya yang sedang menyebut namanya di sela percakapan. Karena penasaran, anak kecil itu menghentikan langkahnya.

"Kenapa kamu minta pihak sekolah misahin kelas mereka, sih?"

"Aku emang sempet minta. Tapi pihak sekolah jawab, semua tergantung nilai. Kalau nilai mereka gak beda jauh, satu kelas lagi. Gitu terus setiap tahunnya, Ma." Gio mencoba kembali menjelaskan kepada istrinya jika terpisahnya kelas si kembar bukan kesalahan dirinya.

"Sekarang, kamu gak bisa minta pihak sekolah buat satuin mereka lagi? Aku gak bisa liat mereka saling tertekan. Fiqa kesepian gak ada Qila. Qila ngerasa gak bisa berbaur sama temen-temen kelasnya." Mel terlihat memohon.

"Ma, kamu tau sendiri. Di Taruna, semua murid dituntut buat mandiri dan disiplin. Itu kan sekolah buat anak-anaknya angkatan, sama mereka yang mau jadi angkatan." Gio tersenyum tipis saat melihat wajah lucu istrinya.

"Tapi, kamu bukan angkatan. Kenapa anak kita juga kena disiplin sama mandirinya?" Mel mamajukan bibir bawahnya.

Gio merangkul sang istri. "Ma, itu resiko. Semua orangtua yang masukin anaknya ke sekolah itu, pengen anaknya mandiri dan disiplin. Gak ada yang dibedain. Meski kita donatur terbesar."

"Qila bilang, dia di-bully sama temen sekelasnya."

"Kamu dapet laporan gak? Kalau nggak, tenang aja. Taruma Muda tuh gurunya gak pelit pulsa."

"Dia minta pindah kelas, Pa." Mel menatap lurus ke arah di depannya.

Gio menghela napasnya. "Perlu dijelasin lagi?"

"Atau pindah sekolah."

"Di mana? Itu sekolah bagus. Lulusannya terjamin."

Mel menepis lengan Gio di tangannya. "Udahlah, gak usah pegang-pegang. Biar aku cari sendiri sekolahan yang gak kalah bagus buat mereka."

"Jangan marah dulu. Kita liat kedepannya, kalau Qila masih ditindas, kita pindahin sekolahnya."

"Aku udah sering dapet harapan palsu." Mel membalik tubuhnya. Tepat saat itu, ia melihat anaknya yang sedang tersandung.

"Qila!" Dengan panik, wanita itu menghampiri anak pertamanya yang sudah memeluk lantai.

Saat sudah membantu anaknya untuk berdiri, Mel bertanya, "mana yang sakit?"

"Gak apa-apa, Mama. Aku mau minum."

"Ini." Gio memberikan segelas air putih untuk anaknya. Mel yang melihat, hanya memberikan tatapan sinis pada suaminya.

"Abis ini bobo lagi, ya. Biar besok gak telat bangun." Mel mengecup kening anaknya.

"Mau bobo sama Papa?" Gio mengusap rambut sang anak.

Qila menggeleng. "Nanti Fiqa bobo sendirian."

"Yuk, ke kamar lagi. Mama antar." Mel merangkul Qila dan berjalan menuju kamar anak-anak.

***

Pagi ini, Qila berangkat menuju sekolah dengan senyum di wajahnya. Ia baru saja mendapat selembar fotonya bersama Nadya dari Nenek. Foto itu berukuran 4×6, terus ia pegang hingga masuk ke dalam kelas. Sebelum jam pelajaran dimulai pun ia masih memandangi foto itu.

"Ih, Qila kayak orang gila. Senyum sendiri."

Qila tidak peduli. Yang penting, ia merasa senang dapat melihat bundanya di sekolah. Baru ia letakkan foto itu di dalam tas saat bel masuk berbunyi. Anak kecil itu kembali fokus mendengarkan guru yang sedang menjelaskan di depan kelas.

Oh Baby, Baby, Twins! (Selesai)Where stories live. Discover now