19. Hujan

76.6K 5.8K 408
                                    

Qila dan Fiqa sedang menonton video lagu anak-anak yang baru dibelikan oleh papanya tiga hari yang lalu. Keduanya begitu serius menonton, terkadang mereka ikut bernyanyi atau pun menari.

"Serius banget, anak Mama." Mel duduk di belakang kedua anaknya.

"Ma, ada lagu buat dedek bayi, lho. Yang nyanyi boneka." Qila memberitahu mamanya.

"Susan?"

"Iya." Qila mengangguk. "Dedek aku lahirnya kapan?"

"Masih lama." Mel tersenyum. "Kalau udah sembilan bulan baru lahir."

"Emang sekarang berapa bulan?" Fiqa mengikuti arah pembicaraan.

"Dua minggu lagi,tujuh bulan."

Fiqa memajukan bibirnya. "Yah, masih lama, dong."

"Cepet, kok." Mel membelai rambut Fiqa. Pandangannya beralih pada Qila yang mendadak diam saja. Dari matanya, ia tahu jika anaknya sedih.

"Qila, kalau dedek udah lahir, Mama tetep sayang sama kamu, sama Fiqa juga. Kan, kamu juga anak Mama. Gak usah takut. Sampai kapan pun, Mama tetep sayang sama kamu." Mel memeluk Qila.

"Tapi, dedek belom lahir aja, aku udah gak boleh dipangku sama Mama." Qila menunduk.

"Kata siapa? Sini pangku." Mel mendudukan Qila di atas pahanya. Kebetulan, ketiganya sedang duduk di atas lantai beralaskan karpet permadani.

"Nanti aku dimarahin papa, Ma." Qila turun dari pangkuan Mel.

"Nggak. Kan, Mama yang mau." Mel menyuruh Qila kembali ke pangkuannya.

"Kenapa, Ma?" Gio duduk di samping istrinya. Pandangannya menangkap Qila. Dari ekspresi anaknya itu, ia tahu jika di antara istri dan anaknya sedang ada sesuatu.

"Kata Qila, dia minta dipangku sama Mama, Pa." Fiqa membuka suara. Mel menatap Gio, memohon.

"Ya udah, kenapa diem aja? Jangan lama-lama, ya." Gio tersenyum.

Qila mendongak. Kedua matanya membesar, senang. Tanpa ragu, ia langsung duduk di atas pangkuan Mel.

"Pa, kok kita gak jalan-jalan lagi, sih? Minggu kemarin aja kita ke rumah bunda." Fiqa menyeletuk.

"Cuacanya gak mendukung." Gio menatap ke arah jendela dekat pintu menuju balkon. "Tuh, langitnya gelap."

"Nanti kalau ujan, aku boleh mainan di luar, ya?" Qila menunjukan deretan giginya.

"Iya." Gio mengangguk.

"Aku juga mau main ujan." Fiqa menatap papanya. "Boleh, ya?"

Mel menempelkan punggung tangannya pada kening Fiqa. "Kamu masih agak panas. Gak usah dulu, ya?"

"Qila aja boleh, masa aku nggak." Bibir Fiqa menekuk menjadi huruf U terbalik.

"Kalau Fiqa nggak, Qila juga nggak."

"Ih kok gitu, sih?" Qila tidak terima dengan keputusan papanya. "Aku mau main ujan."

Gio menggeleng. "Nggak."

Qila meninggalkan ruang bermainnya. Ia memutuskan untuk berdiam diri di dalam kamar. Ia kesal dengan semua orang yang ada di rumahnya. Termasuk Mel yang tidak membelanya.

***

Hujan sudah turun sejak tadi. Qila sudah berada di balkon rumahnya. Dari sini, ia bisa merasakan rintik air hujan yang menyentuh permukaan kulitnya. Ia membiarkan tubuhnya basah terkena rintik hujan. Tangannya ia julurkan supaya bisa menampung air hujan. Dirinya tetap merasa senang meski tubuhnya tidak seutuhnya bisa bermain di derasnya air hujan.

Oh Baby, Baby, Twins! (Selesai)Where stories live. Discover now