24. Cita-cita

76.2K 5.8K 385
                                    

Seorang guru wanita sedang mengajar di depan kelas. Ia begitu serius menjelaskan materi pembelajarannya saat ini. Seluruh pasang mata di dalam ruangan memandanginya dengan serius. Namun, ekor matanya dapat melihat seorang anak yang selalu menganggu teman sebangkunya.

Di seragam coklat muda khas pakaian pramuka anak itu terdapat nama pengenal bertuliskan Aqeela M. Ahmad. Tangan kanan anak itu merangkul tubuh teman sebangkunya yang tak lain adalah Fiqa, kembarannya sendiri. Tak jarang juga ia mengecup pipi kembarannya.

Meski bekas kecupannya selalu diusap oleh Fiqa, Qila tak merasa kesal. Yang ia tahu, ia ingin membagi perasaan senangnya pada Fiqa.

"Qila, dengerin Bu Guru, dong. Jangan ganggu aku terus." Fiqa baru saja megusap pipi kirinya untuk yang ke sekian kalinya.

"Ih, emang kamu gak seneng apa? Nanti kita pulang sekolah sendiri. Bareng temen-temen!" Qila memeluk erat kembarannya.

"Qila." Guru yang mengajar di kelas itu mengampiri anak yang masih menikmati pelukannya.

"Ih, Qila. Kamu dipanggil," bisik Fiqa. Ia berusaha melepaskan pelukan dari kembarannya.

Qila yang menyadari gurunya sudah berada di samping mejanya pun melepaskan pelukan. Kepalanya menoleh ke arah gurunya berada.

"Iya?" tanya Qila dengan bingung.

"Kalau cita-cita kamu apa?" Guru itu bertanya.

Alis Qila menyatu. Ia tidak tahu apa itu cita-cita. Tapi, tidak mungkin ia bertanya. Karena ia tahu jika gurunya tadi menjelaskan tentang cita-cita.

"Fiqa dulu yang jawab. Baru aku." Qila melirik ke arah kanannya.

"Kenapa harus Fiqa dulu? Kan Ibu tanya ke kamu." Guru itu tersenyum.

"Soalnya, aku kakaknya. Jadi, Fiqa dulu biar aku bisa jagain dia. Kata papa kayak gitu." Wajah Qila begitu serius. Meski sebenarnya ia tidak tahu apa maksud dari ucapannya.

Wanita itu menganguk. Ia pun bertanya pada Fiqa.

"Cita-cita aku, punya banyak mainan. Biar kalau udah gede nanti, aku tetep bisa mainin mainan aku." Fiqa menunjukan deretan gigi susunya.

Dengan mantap, Qila menjawab, "aku mau sama Fiqa terus biar kayak papa sama bunda."

"Loh, papa sama bunda kamu kan nikah. Emang, kamu mau nikah sama Fiqa?"

Sontak, seluruh anak di ruangan itu tertawa.

"Diem!" Qila berteriak. "Berisik banget, sih." Anak kecil itu berkacak pinggang. Qila memang terkenal galak. Sifat ini dituruni oleh Mel pada dirinya.

"Bunda itu kembarannya papa." Qila menjelaskan.

"Qila, ibu kamu ada dua?" tanya seorang teman Qila.

"Iya dong! Emangnya kalian, cuma satu!" Ia menjulurkan lidahnya pada teman-teman sekelasnya.

Guru yang mengajar di kelas itu tertawa, merasa terhibur dengan sikap polos muridnya. Termasuk Qila. Yang tak pernah absen membuat dirinya tertawa. Sayangnya, wanita itu ganya mengajar seminggu sekali di kelas Qila.

***

Qila dan Fiqa sedang berada di perjalanan pulang. Kedua anak itu berpisah dengan beberapa temannya setiap mereka bertemu dengan tikungan. Hingga menyisakan mereka berdua.

"Qila, rumah kita jauh banget, sih. Aku capek, tau." Fiqa mengeluh.

"Duduk di situ, yuk?" Qila menunjuk sebuah bangku yang berada di depan warung.

Dua anak kembar itu memutuskan untuk istirahat sejenak sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan mereka.

"Kalian mau pulang?" tanya si pemilik warung.

Oh Baby, Baby, Twins! (Selesai)Where stories live. Discover now