Tiga

16.1K 1.3K 18
                                    

Ana diam, tak berniat melakukan apapun, saat pulang tadi, tanpa diduga Kakaknya sudah berada di rumah, Ana kira ia akan dimarahi habis habisan.

Namun ini yang membuat Ana gelisah, kali ini berbeda, Kakaknya tak mengatakan apapun, tangannya ditarik pelan menuju sofa.

Dengan perlahan Kakaknya mengobati luka di siku dan lututnya, mata bulat Ana tak lepas dari wajah sang Kakak yang tak menunjukkan ekspresi apapun.

"Kak Maaf, Ana gak dengerin ucapan Kakak." Gadis itu menunduk dalam.

Tak ada balasan apapun, Kakaknya masih sibuk mengobatinya.

Ana merasa, lebih baik ia dimarahi habis habisan daripada di diamkan seperti ini, itu lebih menyakitkan.

"Maaf, jangan marah." Ana menatap sang Kakak.

Tak ada reaksi apapun, Kakaknya malah pergi meninggalkannya setelah selesai mengobati lukanya.

Ana menatap sendu punggung lebar Kakaknya yang menghilang di balik tembok.

Gadis itu berdiri, matanya tak sengaja melihat sebatang coklat di atas meja, itu adalah coklat yang ia beli tadi.

Rasanya sudah tak berselera lagi, itu semua karna ia berlari menghindari cowok itu, hingga ia hampir ditabrak mobil karna tak melihat jalan, untung saja waktu itu jalanan sedang sepi.

Kaki pendeknya berlari kecil menuju kamar sang Kakak, dengan ragu ia memutar knop pintu.

Yang pertama ia lihat adalah punggung lebar Kakaknya yang sedang duduk di pinggir tempat tidur.

Ana masuk dan menutup pintu sepelan mungkin, tak ingin Kakaknya tau keberadaannya.

Ia merangkak diatas king size Kakaknya, perlahan, karna lututnya masih terasa sedikit perih.

Tanpa ragu Ana memeluk leher sang Kakak dari belakang "Maafin Ana, janji gak bakal ngulangin lagi, Kakak gakpapa kalau mau hukum Ana, tapi jangan diemin Ana kaya gini."

Mata gadis itu berkaca kaca saat melihat pipi sang Kakak yang basah. Apakah kakaknya baru saja menangis?

Segera Ana melepas pelukannya, turun dan berdiri didepan Kakaknya, benar saja mata Kakaknya basah.

"Kakak nangis? Maaf." Gadis itu menangis memeluk Kakaknya, menyembunyikan kepalanya di leher sang Kakak.

Kakaknya tak lagi mengabaikan Ana, ia membalas pelukan Adiknya tak kalah erat, mengusap pelan punggung bergetar gadis itu.

Ia berbaring, membiarkan tubuh Adik kesayangannya menimpa dirinya, Ana masih saja enggan melepas pelukannya, ia yakin setelah ini mata Adiknya akan sembap, Adiknya juga akan susah bernafas karna menangis.

"Kakak gak marah, Kakak cuma merasa gak becus jagain kamu, ini salah Kakak, harusnya Kakak yang minta maaf."

Ana menggeleng, tangisnya kembali pecah, ia kini merasa sangat bersalah, karna Ana Kakaknya menyalahkan dirinya sendiri.

"Kakak cuma gak mau kamu kenapa napa! Cukup saat itu aja kamu pergi." ia menatap sendu Ana.

Dia tidak akan membiarkan Adiknya pergi lagi, diluar sana banyak orang yang mengincar Adiknya, apalagi di negara ini, ini adalah negara yang paling ia hindari.

***
Ana kini berada di balkon kamar sang Kakak, menikmati angin malam yang menerpa wajahnya, gadis manis itu sedang menunggu sang Kakak untuk makan malam, Kakaknya masih berada di kamar mandi.

Tiba-tiba ia memikirkan pengusaha muda itu, idola barunya, kedua sudut bibir Ana tertarik keatas, menampilkan senyum manis diwajahnya.

Ia tadi lupa bertanya pada sang Kakak, sifat pelupanya ini yang paling membuatnya sebal.

Remember You (Selesai)Where stories live. Discover now