Tiga Puluh Dua

11.1K 905 62
                                    

Aldo berdiri menatap wajah pucat adiknya. Ia malu, Aldo malu pada dirinya sendiri. Ia gagal lagi dalam menjaga adiknya, sudah tak terhitung berapa kali gadis ini tersakiti.

Wajah pucat itu mengingatkannya kembali pada sebuah janji, janjinya pada sang Ibu, untuk terus menjaga adiknya, untuk terus membuat adik kecilnya terus tersenyum, membuat Rena tak mengenal apa itu kesedihan.

Tapi apa yang Aldo berikan, adiknya malah mengalami hal sebaliknya, ia tak bisa menepati janjinya pada sang Ibu.

Aldo malu.

Sudah dua hari gadis itu belum juga bangun. Sikap Aldo pun sudah semakin posesif, tak ada yang boleh menemui adiknya selain ia dan Bi Ida.

Pria-pria yang mengaku sebagai sahabat Rena itu tak Aldo biarkan untuk masuk, mereka semua pasti juga teman-teman Arga, yang artinya harus dijauhkan dari adiknya.

Walaupun luka-luka dan rasa sakit yang Rena rasakan itu bukan ulah Arga, tapi pria itu sudah lalai menjaga adiknya, padahal sebelumnya sudah Aldo tegaskan berkali-kali pada pria itu untuk menjaga Rena, dan dengan gampang Arga bisa meyakinkannya.

Lalu apa ini? Pria tak bertanggung jawab itu membiarkan adiknya disiksa oleh Devan, membuat keluarga satu-satunya yang ia punya berjuang di alam bawah sadarnya.

Mata Aldo mengerjap-ngerjap saat melihat mata Rena juga mengerjap, senyumnya merekah.

"Rena?" Panggil Aldo, memastikan adiknya sudah benar-benar sadar.

"Hmm? Abang kok disini?"

Aldo terkekeh kecil, rupanya gadis itu belum sadar jika ini dirumah sakit. Aldo paham maksud pertanyaan Rena, adiknya itu mengira mereka tengah berada didalam kamar Rena.

"Ehh, kok, Bang ini rumah sakit ya?"

Aldo tak bisa lagi menyembunyikan senyumannya, adiknya ini selalu bisa membuat suasana yang tegang kembali normal dengan segala tingkahnya.

Belum sempat Aldo menjawab, Rena kembali menyodorkan pertanyaan, "Arga mana?"

Aldo menggeleng. "Abang gak tau."

Gadis itu mengangguk paham, kemudian matanya mengitari sekeliling ruangan. "Bang, pulang yuk!"

"Gak! Sebelum kamu sembuh total," ucap Aldo membantah.

"Udah sembuh, Bang! Aya udah kuat."

"Gak peduli! Sekarang waktunya makan. Hobi makan, kan? Ayo buka mulutnya, Abang suapin."

"Enak gak, Bang?" tanya Rena.

"Dicoba dulu," jawab Aldo.

"Tapi kalau Rena laper, makanan apapun pasti jadi enak."

"Kamu itu selalu lapar dan gak akan bisa kenyang Renaya Andrianaaaa, si manusia omnivora yang makanannya banyak tapi gak pernah mengalami pertumbuhan."

Gadis itu mendengus kasar, mengambil alih makanan yang berada ditangan sang kakak, lalu menikmatinya dengan diam.

Rena merasa tersinggung dengan ucapan terakhir kakaknya. Ia memang tidak pernah mengalami pertumbuhan seperti bertambah tinggi, tapi tidak usah diperjelas juga kan.

Suara pintu mengalihkan perhatian kakak beradik itu dari kesibukan masing-masing. Rena tersenyum bahagia saat menatap Bi Ida yang berjalan kearahnya. Bi Ida datang bukan tanpa alasan, wanita yang sudah Rena dan Aldo anggap Ibu itu membawa kantong kresek berisi makanan disana.

"Bi Ida pengertian banget deh." Tangan Rena meraih plastik itu dari tangan Bi Ida, melihat lihat makanan apa yang ada didalam sana.

"Karena sekarang Bi Ida sudah datang, Abang pergi dulu sebentar, ada beberapa pekerjaan yang harus Abang selesaikan di kantor, kalau ada apa-apa atau mau titip sesuatu langsung telpon Abang aja."

Remember You (Selesai)Where stories live. Discover now