7. Small Talk

227 10 0
                                    

Bara tidak menjawab apapun pada Jafin. Tapi Bara melakukan pergerakan-mengemasi semua barangnya, memasukkan ke dalam tas lalu berdiri dan berjalan mendekatiku. Senyum Jafin mengembang melihat hal itu, aku bisa meliriknya. Sedangkan Rea, dia melotot terkejut.

"tidak keberatan jika kuantar ?" tanya Bara padaku. Dia menatapku dengan serius. Aku sendiri tidak tahu harus bersikap seperti apa. Aku hanya mengangguk- dengan kaku.

Bara berjalan keluar mendahuluiku. Orang tua Rea tidak ada, jadi kami tidak berkewajiban berpamitan kepada siapapun. Rea menemaniku keluar rumah. Sampai di teras, Bara sudah selesai memakai sepatunya. Aku memakai sepatuku dengan perlahan, aku masih diselimuti perasaan ragu. Yang benar saja, Bara mau mengantarku. Kami duduk berdua di satu motor yang sama, jarak yang sangat dekat. Aduh aku belum pernah di bonceng orang ganteng sebelum ini. Aku tidak percaya.

"Rea, terimakasih untuk jamuannya" ucap Bara lalu berjalan pergi mendekati motornya.

Aku melambaikan tangan pada Rea lalu berlari menyusul Bara.

"hati-hati Fal, jaga diri baik-baik, langsung telfon jika terjadi bahaya, lari atau berteriak saja jika suasana mencekam" Rea memberiku pesan penting. Rea tidak sungkan-sungkan mengatakan itu dengan suara lantang. Aku lebih takut jika Bara tersinggung.

Aku mengangguk memutar kepala ke arah Rea sambil terus berlari kecil mengejar Bara. Aku tidak mau membuatnya menunggu lama. Karena saking asiknya menjawab Rea aku tidak sadar jika badanku menabrak punggung Bara yang berdiri di samping motor. Kepalaku terbentur punggung lebih dulu. Jedug

Aw. Aku memegangi keningku. Aduh keras juga punggungnya. Aku terlalu keras menabraknya. Tapi yang ada aku sendiri yang kesakitan, dia bahkan tidak goyah atau hampir jatuh. Itu punggung atau kayu, sakit sekali.

Bara memutar badan, dia langsung merubah ekspresinya. Keningnya berkerut melihatku "kau baik-baik saja ?" Dia mengangkat tangan kanannya seolah ingin membantu mengusap keningku. Aku segera mundur untuk menghindarinya.

"iya aku baik-baik saja" aku meringis menahan sakit.

Kemudian Bara memakaikan helm padaku. ini helm yang dipakai Jafin tadi. Aku tidak menolak ketika Bara tiba-tiba memakaikan helm ke kepalaku. Dia tidak meminta persetujuanku dan helm ini terpasang begitu saja. Ketika Bara menyatukan pengait helm diantara leherku detik itu juga nafasku berhenti. Jantungku berdegup, aku gugup sampai menghentikan nafas sesaat. Mengaitkan helm biasanya hanya butuh waktu sebentar tapi kenapa ini rasanya lama sekali. Setelah Bara selesai mengaitkan, aku bisa bernapas kembali. Aku bisa mengisi paru-paruku dengan oksigen sebanyak mungkin untuk meredakan ketegangan. Untung Bara tidak menyadari apa yang kulakukan.

Sepanjang perjalanan kami tidak bicara apapun. Aku sudah mengatakan letak café sebelum kami berangkat dan Bara tidak kesulitan untuk mengetahui alamat tersebut. Aku tidak tahu apakah diam seperti ini adalah baik atau aku yang tidak bisa mencairkan suasana. Biasanya aku orang yang periang, tidak berpikir dua kali untuk memulai obrolan atau beramah tamah dengan orang lain. Tapi kali ini aku tidak tahu harus bersikap apa. Lagi pula Bara juga diam saja sepertinya Dia fokus dengan menyetir.

"mmm cuacanya cerah ya" aku memulai obrolan ditengah situasi kecanggungan ini.

"iya matahari sudah hampir tenggelam"

Ini memang sudah sore menjelang malam. Matahari memang hampir tenggelam. Sepertinya kalimatku salah. Kalimatku tidak tepat diucapkan di waktu seperti ini.

Setelah itu tidak ada kalimat lain yang terucap. Kami diam seribu bahasa sampai kami tiba di tempat tujuan. Aku turun dari motor dan melepaskan helm. Sialnya di saat aku melepas pengait helm aku mengalami kesulitan. Bara melihatku, aku membalasnya dengan senyum canggung. Aku malu meminta bantuan padanya. Mengingat sebelum ini dia mengaitkan helmku membuatku menahan napas lalu apa lagi refleks yang akan tubuhku lakukan.

Who Are U ?Where stories live. Discover now