49. Menggenggam Erat

120 8 0
                                    

"harus pergi sekarang ?" tanyaku kepada Bara. Dia tersenyum kemudian mengangguk memberiku jawaban.

"aku harap begitu" ucap Bara

"kenapa mendadak sekali ?" ini terlalu tiba-tiba bagiku. Tiba-tiba Bara datang, lalu tiba-tiba Bara mengajakku bertemu dengan orang tuanya. Aku ingin menolaknya karena aku takut tapi sialnya aku tidak punya alasan. Tidak ada ide yang muncul di kepalaku.

"tenang saja, aku jamin semua akan baik-baik saja. Atau kau mau Mamaku yang datang ke rumahmu ?"

"Tidak. Tidak. Tidak perlu aku saja yang kesana. Kalau begitu kau tunggu di ruang tamu aku harus bersiap dulu" aku menarik tangan Bara membawanya masuk ke rumah dan duduk di ruang tamu. Rasanya ada sedikit ketidak relaan meninggalkan Bara disini, aku takut tiba-tiba Dia menghilang.

"berjanjilah kau tidak akan pergi kemanapun sampai aku kembali"

Bara terkekeh "aku bersedia jika harus ikut kau ganti baju agar kau bisa memastikanku berada di jangkauan penglihatanmu"

Bara mencoba memanfaatkan keadaan, tapi aku tidak bodoh dengan menyetujui saran yang diberikan Bara. Aku memberikan tatapan mengancam dan bergegas pergi ke kamar.

Dengan tergesa-gesa aku memilih baju di lemari. Melempar satu dua baju yang kurasa kurang cocok. Setelah hampir sebagian baju yang kumiliki kulempar ke kasur aku menjadi frustasi, tidak satupun baju cocok untuk kukenaakan. Aku tidak punya baju lagi. Aku tidak tahu harus memakai baju apa. setidaknya aku harus memberi kesan yang baik di mata Tante Agni. Mengenakan baju yang bagus, sopan dan membuatku terlihat menarik.

Aku kembali menggeledah isi lemariku dan berharap menemukan harta karun. Semua baju kukeluarkan sampai membuat kamarku jadi seperti gudang yang berantakan. Satu baju tersangkut di kursi, satu lagi di meja, yang lain berceceran di lantai dan sisanya menumpuk di kasur.

Aku melihat semua kekacauan ini, meneliti semua baju yang berserakan. Memastikan lagi apakah ada baju yang kulewatkan.

Sampai akhirnya mataku menemukan rok hitam dan kemeja putih. Itu baju yang tepat aku harus segera memakainya. Dengan sigap aku memungut dua benda itu dan memakainya. Rok hitam selutut lalu kemeja putih dengan hiasan jahitan kain bergelombang di bagian tengah menutupi kancing baju. Tidak lupa bagian ujung baju ini dimasukkan ke rok agar terlihat rapi. Selanjutnya aku menambahkan sedikit polesan di wajah, hanya sedikit tidak sampai terlihat mencolok. Aku bergegas keluar menemui Bara.

"aku sudah siap" kataku ketika mendekati Bara.

Bara menatapku memperhatikan dari bawah hingga atas. "kau akan melamar pekerjaan ?"

Aku mengerlingkan mata, Bara sama sekali tidak tahu usahaku "diamlah, aku hanya ingin terlihat sopan di depan Mamamu" aku menarik lengan Bara dan membawanya keluar dari rumah. Sebelum menemui Bara aku sudah berpamitan dengan Mamaku, jadi sekarang tinggal berangkat.

Bara memarkirkan mobilnya tak jauh dari rumahku. Sepanjang perjalan aku merasa gelisah, aku takut dengan apa yang akan terjadi. Kemungkinan yang terjadi Tante Agni akan memarahiku. Meskipun Bara bilang semua baik-baik saja tapi kurasa tidak begitu. Sepertinya Tante Agni membutuhkanku untuk membuat Bara berhenti melukai dirinya sendiri. Apapun yang dikatakan Tante Agni nanti sebaiknya aku tidak melawan atau menolak agar semua berjalan baik. Ini kesempatanku untuk memperbaiki keadaan dan memperbaiki pandangan buruk Tante Agni padaku.

Bara menggenggam tanganku yang sedari tadi bergetar diatas pangkuanku "tenang saja, tidak perlu khawatir"

"aku berusaha"

"apa kau merindukanku ?" tanya Bara, lebih tepatnya dia sedang mengalihkan pikiranku agar aku tidak tegang.

"sama sekali tidak"

"jangan berbohong"

"aku bahkan sudah berpikir untuk mencari pacar lain"

"itu lucu sekali Faleesha, aku sangat tahu kau tidak bisa berpaling dariku meskipun kau ingin"

Aku menatap Bara, ucapannya sangat benar. Sebenarnya aku hanya sedang berlatih jika nanti Tante Agni memintaku melakukan kebohongan agar Bara mau menjauhiku bagaimana respon yang diberikan Bara. ternyata Bara tidak semudah itu percaya.

"ya dan itu sangat menyebalkan"

Kami sampai di rumah Bara. Petugas penjaga gerbang yang dulu memeriksaku tengah membukakan pintu gerbang mempersilahkan Bara untuk masuk. Mobil  Bara mengitari taman lalu masuk ke garasi. Semakin dekat semakin gugup. aku kembali merapikan baju, rok dan riasanku. Aku sudah rapi.

"kau benar-benar terlihat seperti pelamar pekerjaan" lagi-lagi Bara meledekku, itu menyebalkan.

Bara membawaku masuk, kupikir aku akan menunggu di ruang tamu tapi Bara membawaku ke ruang baca. Ini mirip perpustakaan mini, dan bara membawaku berjalan melewati rak-rak buku yang tertata rapi. Dadaku tidak berhenti bergemuruh sedetikpun. Sampai mataku menemukan sosok Tante Agni duduk dengan anggun di sebuah kursi membawa sebuah buku berwarna biru dengan kacamata bertengger di hidungnya.

Reflek kakiku berhenti berjalan dan napasku juga terhenti satu detik. Bara menyadari keteganganku dan Dia mencoba menenangkanku dengan mengatakan semua akan baik-baik saja.

Tidak ada pilihan lain, aku sudah di pintu gerbang sebuah perjuangan jadi mau tidak mau aku harus menyelesaikan ini.

"Ma," ucap Bara.

Tante Agni mengangkat kepalanya perlahan mengalihkan pandangannya ke arah Bara, kemudian perlahan menatapku yang ada disamping Bara. mendapat tatapan intens dari Tante Agni membuatku takut dan merunduk.

"kau rupanya, kemarilah duduk di sampingku" ucap Tante Agni dengan lembut dan menenangkan. Tidak seperti waktu terakhir aku bertemu dengan beliau.

Bara membawaku duduk di samping Tante Agni.

"tinggalkan kami berdua" ucap Tante Agni, lebih tepatnya kalimat itu untuk Bara.

Aku menggenggam tangan Bara memberikan isyarat jika aku tidak mau ditinggalkan. Aku tidak mau ditelan bulat-bulat oleh Tante Agni. Aku tidak mau meregang nyawa disini.

Bara mengusap tanganku dan memberiku senyuman, kemudian tangannya terlepas dari genggamanku. Tinggallah aku berdua disini.

Tante Agni mengusap rambutku dengan telapak tangannya. Itu membuat bulu di leherku meremang. Darahku seakan berdesir dan jantungku berpacu semakin cepat.

"seseorang berkata padaku, jangan menggenggam suatu hal yang kau sukai dengan amat erat, bukannya menjadi aman justru kau akan menghancurkannya dengan tanganmu sendiri"

Perlahan aku memberanikan diri menatap Tante Agni, beliau memberiku senyuman "jadi pegang saja, jangan terlalu kuat dan tidak terlalu lemah, buat dia nyaman di genggamanmu"

Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksudkan Tante Agni.

"yang mengatakan itu adalah suamiku. Aku telah menggenggam Bara terlalu kuat karena takut kehilangan tapi yang terjadi aku malah merusaknya dengan tanganku sendiri. Dan aku ingat ucapanmu waktu itu, kau benar, aku berhak memberi arahan tapi tidak berhak mengatur hidup Bara" Tante Agni meneteskan air mata. Aku terkejut karena aku tidak menyangka jika hal seperti ini yang akan terjadi.

"terimakasih karena sudah berusaha menyadarkan Tante, tapi Tante yang terlalu keras kepala" Tante Agni melepas kacamatanya dan air matanya semakin banyak. Aku memeluk Tante Agni. Berharap dengan pelukan ini beliau bisa lebih tenang.

"kau anak yang baik, di usia yang masih muda kau punya pemikiran yang dewasa. Betapa salahnya aku yang sudah membencimu padahal kau memiliki pemikiran yang baik untuk hidup Bara. Justru aku sendiri ibunya yang sudah dengan sengaja menghancurkan hidup Bara" ucap Tante Agni di sela-sela tangisannya. Aku mengusap punggung Tante Agni sebisa mungkin membuatnya nyaman dan tenang.

"semua bisa diperbaiki Tante, belum terlambat" ucapku.

Tante Agni melepas pelukanku lalu menggenggam kedua tanganku "jika kau berkenan, tolong maafkan Tante"

....................................................................................

Who Are U ?Where stories live. Discover now