29. He Drive Me Crazy

111 6 0
                                    

Setelah beberapa hari aku berusaha menghilangkan trauma dan pikiran buruk mengenai tanaman, akhirnya sekarang aku bisa pulih. Selama beberapa hari ini aku terus merapalkan mantra 'tanaman tidak bahaya, itu halusinasi' berulang kali ketika kepanikanku datang. Sekarang Aku bisa melihat tanaman dengan normal, aku tidak menganggap tanaman sebagai musuh. Aku bangga dengan diriku sendiri, aku bisa mengatasinya.

                Aku pulih tapi bukan berarti aku lupa. Aku masih ingat betul setiap kejadian dimana Bara bermain dengan tanaman. Nanti jika kurasa aku benar-benar baik, aku harus bertanya langsung ke Bara. Untuk saat ini rasanya aku belum siap untuk bertemu Bara. Aku takut halusinasiku kambuh lagi.

                Bel istirahat kedua berbunyi nyaring. Para siswa dan guru membubarkan proses belajar mengajar. Aku dan Rea berjalan keluar kelas menuju ke kantin. Kami butuh asupan, meski sekolah hanya duduk tapi ini sangat menguras tenaga. Apalagi barusan mata pelajaran matematika, guruku memberikan kuis dadakan. Sudah jelas aku baru saja berpikir keras dan sekarang aku sangat lapar. Isi kepalaku hanya tentang beraneka makanan di kantin. Air dingin pasti bisa menyegarkan otakku. Semangkuk mie ayam yang nikmat dilidah pasti akan mengirimkan sinyal nikmat sampai ke otakku yang sedang kacau ini. Mie ayam dengan taburan daun bawang pasti bisa menyembuhkan kekacauan dalam otakku.

"heh" Rea menyenggol lenganku "bengong" aku menelan ludah karena terlalu larut dalam lamunan yang nikmat. Aku tersenyum menanggapi Rea "sedang membayangkan mie ayam" jawabku dengan tersenyum.

Rea mengangguk dengan semangat "iya iya setuju, aku juga lagi pengen mie ayam. Apa kau dari tadi membaca pikiranku ?"

Kami berdua tertawa, ternyata kami memikirkan hal yang sama. Melakukan atau memikirkan hal yang sama tanpa sengaja dengan sahabat memang mengesankan, kita sudah terikat dengan sesuatu yang tak kasat mata sepertinya.

                Dua mangkuk mie ayam dengan dua gelas jus semangka sudah tersaji di hadapan kami. Tanpa di sengaja kami melakukan hal yang sama, memandang mie lalu beralih saling tatap. Hal itu membuat kami tidak bisa menahan tawa. Stop kami bukan kembar yaa, ini sangat aneh.

"Jafin tidak makan ?" tanyaku di sela-sela menyantap mie ayam. Biasanya Jafin bergabung dengan aku dan Rea, tidak setiap hari tapi sering.

Rea menggelengkan kepala "sepertinya tidak, Jafin tidak mengatakan apapun, biasanya jika ingin makan bersama dia akan mengirimiku pesan"

Aku mengangguk, mataku tak sengaja menemukan sosok Bara yang berjalan tak jauh dariku. Bara berjalan ke arahku, tapi tidak mungkin Dia akan menghampiriku. Apa mungkin dia bersama Jafin dan akan menghampiri Rea, tapi sayangnya aku tidak menemukan Jafin juga disekitarnya. Bara semakin mendekat, kurasa dia benar-benar akan menghampiriku. Entah kenapa aku jadi gelisah dan salah tingkah. Hal ini membuatku tersedak tidak sengaja.

Huk uhuk

"kau baik-baik saja" Rea menyodorkan minumanku. Aku menenggaknya dengan tergesa-gesa. Selesai minum, mataku kembali dikejutkan oleh Bara yang sudah duduk manis dihadapanku memandangku dengan sorot mata tajam yang sulit diartikan.

"aku ke toilet dulu" aku buru-buru berlari ke toilet. Sepertinya aku belum siap bertemu Bara, aku tiba-tiba takut. Kejadian Bara yang bermain dengan tanaman kembali menghantuiku.

Aku berlari ke toilet dengan dada yang masih berdegup kencang. Tidak sengaja mataku bertemu dengan tanaman di sekitarku, mereka tertawa lagi. Mereka menertawakanku lagi seperti waktu itu. Astaga ya Tuhan. Aku berlari semakin kencang, sialnya tubuhku menabrak seorang siswi yang beridiri di depan kelas.

"maaf-maaf" aku mundur dengan panik, aku takut siswi ini marah padaku, pasalnya aku menabraknya sangat keras. Sekarang saja badanku terasa linu pasti dia juga lebih sakit. Meski tidak sampai jatuh tapi ini tidak bisa dimaklumi. Berulangkali aku mengucap maaf, dia memberiku tatapan kesal. Tidak kusadari aku mundur terlalu jauh sampai menabrak tanaman yang di belakangku. Aku terkejut dan panik. Ketika kulit tanganku bersentuhan dengan daun, sekujur tubuhku merinding. Aku berbalik menatap tanaman itu, sekarang daun itu memberikan ekspresi marah.

                Tidak ingin lebih parah lagi aku segera berlari ke toilet. Aku harus segera sampai di toilet, tempat teraman yang tidak ada tanaman.

                Nafasku memburu ketika aku sudah sampai di dalam toilet. Aku melihat pantulan diriku di cermin. Terlihat berantakan dengan peluh mengucur di sekitar pelipis. Aku mengatur nafas agar kembali normal.

                Menyalakan kran dan membasuhkan air ke wajahku, berharap air ini bisa menyegarkan pikiranku.

                Aku sudah sembuh, kenapa aku bisa melihat hal itu lagi. Apa ini karena aku belum siap bertemu Bara. Menyebalkan. Lagi pula untuk apa Bara menghampiriku. Bukankah dia bilang kita sudah berakhir. Dia yang bilang berakhir dia juga yang terus menerus menghampiri. Dasar aneh, seharusnya dia sadar bahwa dia sudah membuat duniaku berantakan. He drive me crazy.

                Ponselku berbunyi, Rea menelfonku. Aku menerima panggilan darinya, dia mencariku dan menanyakan kondisiku. Rea sudah kembali ke kelas, dan sebaiknya aku juga segera kembali ke kelas karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.

                Kurasa kondisiku sudah cukup tenang, aku akan mengendalikan diri seperti sebelumnya. Merapalkan mantra dan menarik napas dalam.

                Hidupku kembali menemui hambatan ketika kulihat Bara berdiri disamping pintu toilet. Untuk apalagi dia. Aku berusaha mengabaikannya, pura-pura tidak lihat saja. Aku melewatinya begitu saja.

"Falee !" aku dengar dia memanggilku. Tapi aku tidak tertarik meresponnya, aku tidak ingin melihat wajahnya terlalu lama, itu tidak baik.

Untunnya di saat genting itu, aku melihat Elo di kejauhan. Kurasa ide bagus jika menghindari Bara dengan menggunakan Elo.

Aku berteriak memanggil Elo, tanganku melambai padanya. Dia berhenti dan tersenyum padaku. Tanpa berpikir panjang aku segera berlari kecil menyusul Elo. Sudah tentu Bara membiarkanku, dia tidak menahanku. Sesuai rencana, akhirnya aku lepas dari Bara.

"apa lagi sekarang ?" tanya Elo dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat.

"ha ?" aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan.

Elo tertawa dia melanjutkan berjalan dan akupun mengikutinya. Kami berbincang sambil berjalan

"setelah dua tanaman yang kau berikan padaku kemarin sekarang apa lagi ?"

Aku ingat, aku memberikan tanaman dan meminta Elo meletakkan di depan uks.

"oh hehe, kali ini tidak ada. Terimakasih banyak, kau tahu kau selalu jadi penyelamatku di saat genting"

"begitukah" Elo memberi tatapan berbinar. Kurasa dia tidak keberatan jika kurepotkan berkali kali. "kalau begitu kau harus membayarnya, mmm kau tahu istilah balas budi kan ?" dia bertanya atau menyindirku. Tentu saja aku tahu. Tapi aku belum berpikir untuk melakukannya.

"apa yang bisa kulakukan untukmu ?"

"jadilah pacarku"

Aku menatapnya bingung. Aku tidak berpikir dia akan meminta hal seperti itu untuk membalas budi. Kukira dia akan minta aku mengerjakan tugasnya atau membelikannya makanan. Apa dia bercanda, menjalin hubungan sepasang kekasih bukan suatu hal untuk balas budi. Balas budi itu wajib tapi menerima menjadi pacar itu tergantung perasaan masing-masing orang. Kurasa Elo mabuk, dia kebanyakan menghirup bau spidol di kelas jadi pusing begitu.

"hahaha kau pasti bercanda" aku tertawa canggung berusaha mencairkan suasana. Untungnya aku sudah sampai di depan kelasku. Jadi aku bisa segera kabur masuk ke kelas.

............................................

Who Are U ?Where stories live. Discover now