30. A Hug

126 6 0
                                    

                Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Aku keluar kelas paling akhir. Bukan apa-apa, aku hanya ingin keluar ketika sudah sepi. Aku tidak mau siswa lain melihatku bersikap aneh ketika melihat tanaman. Aku khawatir akan melakukan hal-hal konyol ketika keluar kelas lalu ada siswa yang tahu dan mereka menertawakanku. Ditertawakan tumbuhan saja sudah aneh apalagi ditambah ada manusia menertawakanku di waktu bersamaan. Menyebalkan, aku tidak mau hal seperti itu.

Berada di pintu kelas, aku memeriksa kanan dan kiri, memastikan lorong benar-benar sepi. Setelah kupastikan aman, aku keluar kelas dengan kedua telapak tanganku berada di samping mata. Menjaga mataku agar tidak melihat tanaman di tepi tepi kelas. Aku tidak mau melihat tanaman dulu, terlalu berbahaya.

Aku terus fokus menatap jalan di depanku. Saking fokusnya aku bisa melihat Bara bersandar di dinding dengan kedua tangan ada di saku celana. Aku tahu dia memperhatikanku dari jauh. Untuk apa Bara berdiri di sana. Sepertinya Bara sengaja menungguku, tapi tidak terlalu percaya diri bisa jadi tidak menungguku. Ketika jalanku semakin dekat dengan Bara, mata kami bertemu. Tidak mau saling tatap terlalu lama aku memutar badan berjalan ke arah sebaliknya. Aku tidak tahu mau lewat mana yang jelas sekarang aku harus menghindari Bara dulu. Jalan satu-satunya untuk pulang ya jalan yang ditunggui Bara itu tadi. Lalu sekarang aku harus kemana. Ini gila.

Ternyata Bara mengejarku, dia menarik pundakku untuk berhenti. Aku tidak bisa melawan, terpaksa aku harus berhenti dan berbalik badan. Aku merunduk, menghindari menatap mata Bara yang penuh misteri itu.

"kau menghindariku" ucap Bara.

Aku masih merunduk "bukankah itu yang kau minta"

Aku dengar Bara menghela napas gusar "bukan seperti itu, kenapa kau menghindariku ?"

Sekarang giliranku yang menghela napas, aku sengaja menyindirnya dia besikap seolah dia korbannya padahal dia sumber masalahnya "kau bertanya kenapa" aku menjelaskan bahwa pertanyaan Bara adalah pertanyaan retoris.

"iya aku tahu aku yang salah, maafkan aku. Apa kau membenciku sampai kau harus menghindar dariku, tidak bisakah kau memafkan aku ?"

Aku tidak tahu harus menjawab apa, haruskah aku menjelaskan jika alasanku menghindarinya bukan karena benci, tapi karena aku takut mengingat tentang tanaman-tanaman itu. Seperti yang kurasakan sekarang, aku mengingat lagi tanaman aneh itu. Jantungku berpacu dengan cepat. Aku menggigit bibir bagian bawah untuk menenangkan kepanikanku.

"benarkah kau membenciku karena aku mengakhiri hubungan kita, tidak ada alasan lain ? kurasa ada alasan lain. Aku tidak tahu aku hanya merasa begitu"

Aku memberanikan diri menatap matanya. Perlahan kepalaku terangkat, sangat perlahan dan hati-hati. aku bahkan menghitung setiap detiknya melihat bibir, hidung sampai pada detik di kedua mata Bara. Dia terlihat khawatir dan sedih. Kedua alis matanya berkerut. Sekarang bulu di kedua lenganku berdiri. Tidak hanya itu, produksi keringatku sepertinya bekerja terlalu cepat. Aku merasakan keningku berkeringat.

"kau mulai menghindariku ketika aku dan Jafin ke kelasmu dan Rea memiliki rencana untuk kita pergi bersama, kau tahu bagaimana rasanya melihatmu menghindariku waktu itu"

"maafkan aku, melihatmu membenciku membuatku sangat tidak nyaman, aku seperti sedang sakit"

Bara terus bicara padahal aku tidak begitu fokus dengan apa yang dia katakan, aku hanya dengar dia meminta sakit berulang kali.

Kini telapak tanganku mulai bergetar dengan perlahan. Aku merasakan keringat di punggungku mengalir. Aku berkeringat tapi aku juga merasa kedinginan.

"apa memaafkanku begitu sulit. Apa melihatku begitu sangat memuakkan sampai kau harus menutupi kedua matamu seperti tadi"

"sebenarnya-" ucapku bergetar

Aku masih menimbang haruskah aku mengatakannya sekarang. Tapi mulutku seperti tidak sanggup untuk bicara. Badanku terasa kaku, aku melihat ada tanaman di belakang Bara, tanaman itu menunjuk ke arahku dan menertawakanku dengan terbahak-bahak. Aku menutup kedua mataku rapat-rapat.

"kau baik-baik saja, kau pucat sekali" aku dengar Bara mengucapkan itu. Aku hampir limbung karena tidak kuat menahan beban diriku sendiri. Untung saja Bara segera memelukku. Bara mengusap usap kepalaku, dan dia terus mengucapkan kata maaf.

Berada di pelukan Bara membuatku merasa tenang dan aman. Ini seperti tempat persembunyian paling aman. Ditambah usapan Bara di kepalaku juga membuatku merasa nyaman. Aku bisa merasakan dari usapan dan nada bicara Bara, dia melakukan ini dengan penuh kasih sayang. Dan juga aku bisa merasakan ucapan maaf darinya benar-benar tulus. Kenyamanan ini membuatku ingin menangis.

Perlahan aku merasa tenang dan kesadaranku pulih. Beban yang kurasakan hinggap di tubuhku juga perlahan hilang. Aku tidak merasa dingin lagi, sepertinya suhu tubuhku sudah kembali normal. Degupan jantungku juga tak sekencang tadi.

Aku mulai mengangkat kepalaku dan Bara melepaskan pelukannya. Aku melihat Bara yang masih dengan tatapan khawatir "kuantar kau ke mobilmu, apa kau bisa berjalan, aku bisa menggendongmu jika kau tak sanggup"

Aku tersenyum melihat kelakuan Bara "aku sudah lebih baik, terimakasih"

"kau yakin ?"

"sebenarnya aku bukan membencimu, aku melihatmu bermain dengan tanaman dan sejak saat itu aku jadi panik ketika melihat tanaman dan melihatmu"

Bara terkejut, dia membulatkan kedua matanya "sejauh mana yang kau lihat ?"

"kau bermain dengan tanaman di depan UKS dan kau bermain dengan pohon beringin di taman. Hanya dua itu"

"lalu kau membenciku ?"

"tidak. Aku hanya bingung, otakku belum bisa menerima fakta itu. Setiap melihat tanaman seperti mereka bergerak menertawakanku, mereka punya mulut dan tangan" aku melihat salah satu tanaman di dekatku, anehnya sekarang aku tidak melihat tanaman itu tertawa. Mataku sudah kembali normal.

"sekarang semua kembali normal tapi tadi sebelum kau peluk semua tanaman ini tertawa" aku menunjuk tanaman itu.

"maafkan aku, karenaku kau jadi begini, maaf maaf" Bara mengusap punggungku lagi.

"sekarang jelaskan padaku"

Bara tidak menjawabku. Dia seperti sedang menimbang haruskan dia menjelaskan atau tidak. Aku memang penasaran tapi aku tidak mau dia merasa tidak nyaman menceritakan padaku. Sepertinya itu hal yang sangat pribadi dan sensitif.

"tapi jika kau tidak keberatan. Lagi pula sekarang aku sudah baik-baik saja, aku tidak butuh penjelasan untuk bisa pulih kan"

Bara masih menatapku dengan bingung, aku jadi merasa bersalah sekarang.

"baiklah kau tidak perlu menceritakannya padaku. Lalu apa sekarang kita bisa kembali bersama ? aku ingat kau bilang kau tidak nyaman jika aku membencimu. Aku ingin pulang denganmu"

Aku menarik tangan Bara. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

Bara menghentikanku "sebaiknya kau pulang dengan supirmu. Aku akan menelfonmu nanti malam"

"kau punya nomor ponselku ?"

"ya"

"sejak kapan ? kenapa kau tidak pernah menghubungiku jika punya. Menyebalkan sekali. Aku bahkan tidak tahu caranya mendapatkan nomor ponselmu"

"aku baru punya ponsel kemarin. Kau tahu ponsel memberikan radiasi yang buruk jadi aku tidak pernah punya ponsel. Kau alasanku punya ponsel sekarang"

"berbohong"

Bara tertawa, dia mengusap kepalaku. Aku berjalan mendahuluinya dan melambaikan tangan.

..........................................................

Who Are U ?Where stories live. Discover now