41. Let Him Go

101 7 0
                                    

Pagi ini Rea datang hampir terlambat. Aku sudah duduk di tempatku menunggu guru datang sedangkan Rea baru saja masuk kelas dengan langkah lunglai. Dia berjalan dengan memandang lantai tanpa melihat ke depan. Beruntung dia tidak menabrak sesuatu. Aku pikir Rea tidak akan masuk sekolah, aku bahkan sudah mengirimkan pesan teks ke Dia menanyakan kondisinya.

Melihat Rea datang seperti itu membuat hatiku semakin teriris, aku ikut merasa sakit dan sedih. Semua orang di kelas juga menatap aneh kedatangan Rea. Bahkan kelas yang tadinya bising jadi tenang. Rea memang terlihat sangat mengkhawatirkan. Dia diam, lemas, lunglai dan tidak memiliki ekspresi apapun, tatapannya pun kosong.

Aku menghampiri Rea yang duduk di kursi miliknya "kita ke UKS saja ya, kurasa kau kurang sehat" aku memegang pundak Rea hendak membawanya keluar kelas.

Tidak ada penolakan, Dia menurut dan berdiri. Aku mengatakan ke ketua kelas untuk meminta ijin dan menyampaikan ijinku ke guru.

Aku memapah Rea dengan hati-hati. Dia berjalan sangat pelan sampai aku takut Dia akan terjatuh dan pingsan. Aku tidak bisa menebak apakah Rea masih kuat berjalan atau tidak. Perjalanan ke UKS rasanya sangat jauh dan lama sekali. Tidak seperti biasanya. Aku ingin segera sampai tapi malah sebaliknya yang terjadi.

Sampai di ruang UKS aku segera membantunya untuk tidur di tempat yang disediakan. Petugas UKS melakukan tugasnya dengan memeriksa kondisi Rea. Kurasa petugas UKS nya bingung karena semua normal tapi dia terlihat sangat lemas, jadi petugas UKS hanya memberinya vitamin dan memintanya untuk beristirahat.

Rea memejamkan mata, tapi aku tahu dia tidak tidur. Aku ingat perkataan Jafin kemarin, Aku yang egois karena tidak mau membantu mereka berdua. Aku satu-satunya harapan di tengah mereka. Haruskah aku mengatakannya sekarang. Aku tidak mau melihat Rea semakin buruk tapi aku juga takut jika kukatakan bukannya memberikan dampak baik tapi malah memperburuk keadaan.

"apa kau bertemu Jafin ?" ucap Rea lirih.

"hem ?"

"apa kau berhasil bertemu Jafin ?" Rea sendiri yang bilang bahwa menemui Jafin adalah hal sulit tapi Dia masih menanyakan itu kepadaku, itu tandanya Rea masih berharap Aku akan berhasil menemui Jafin meskipun Dia tahu kemungkinan terbesarnya tidak akan bertemu.

Aku semakin bingung, aku ingin mengatakannya tapi Aku takut salah langkah.

"A-aku mmm iya aku bertemu dengannya" seketika Rea yang tadinya memejamkan mata jadi langsung terbuka lebar. Aku sampai terkejut dan takut. Ia begitu bersemangat dan langsung duduk dari tidurnya. Tampak Rea yang lemah tergantikan dengan Rea yang segar. Sebegitu besarnya dampak Jafin baginya. Jafin benar-benar tidak termaafkan melakukan hal sejahat itu pada Rea, Jafin yang akan rugi karena menyia-nyiakan orang yang sudah mencintainya seperti Rea.

"Lalu, apa yang Dia katakan ?"

Aku menggigit bibir bawahku, masih ragu untuk mengatakannya.

"kau tenang dulu, satu-satunya sumber kebahagiaan bukan hanya Jafin"

"Jafin mengatakan hubungan kita berakhir ?" aku terkejut dan melotot ketika tebakan Rea benar. Apa Dia sudah memiliki petunjuk tentang hal itu. Aku terdiam tidak tahu harus menjawab apa.

Rea tertawa, tawa yang menyiratkan kesedihan "benarkan, sudah kuduga" lagi-lagi Dia malah tertawa. Aku semakin takut dengan ekspresi yang Dia berikan. Rea menatap ke luar dengan tatapan kosong sambil terus tertawa. Apa yang membuatnya tertawa, seharusnya Rea bersedih. Astaga semoga ini bukan pertanda buruk.

Aku menarik kedua tangan Rea "Re kau baik-baik saja"

"tentu saja aku baik. Aku baik lihat saja aku baik kan"

"Rea kau kuat, kau pasti bisa melewati ini, ini bukan akhir dari segalanya"

"iya-iya aku tahu seharusnya dari kemarin aku tidak perlu terlunta-lunta seperti itu. aku benci diriku sendiri kenapa bisa begitu, hahaha menyedihkan" Rea kembali tertawa, kali ini semakin keras.

Aku berdiri dan mengusap kepalanya, Aku tidak tahu apa yang Dia rasakan tapi ini membuatku semakin mengkhawatirkannya.

Tiba-tiba tawa Rea berubah jadi tangis. Dia memelukku dan menangis dalam pelukanku. Ini baru benar, justru ketika Dia pura-pura kuat itu membuatku khawatir jika begini kurasa semua berjalan normal. Aku mengusap punggung Rea memberinya posisi nyaman. Aku tidak melarangnya untuk menangis karena kuyakin itu sangat sulit.

"menangis saja sampai kau puas"

"Lalu apa yang dia katakan padamu, kenapa Dia tidak mengatakan sendiri di hadapanku dasar bajingan" Rea mengumpat di sela sela tangisnya.

"Dia akan mengatakannya setelah lomba selesai. Dia harus menyelesaikan lomba itu dulu"

"dasar pecundang"

"ikhlaskan saja, kau tidak perlu mencari alasan untuk membencinya agar membantumu bangkit. Move on tidak perlu membencinya kan, cukup ikhlaskan saja lepaskan Dia. Bagaimanapun juga kalian pernah saling mencintai dan memiliki kenangan indah. Kurasa itu lebih baik, untukmu maupun Jafin. Kalian tidak perlu saling membenci atau menjauh, anggap saja memang kalian belum berjodoh"

Rea melepas pelukanku, Dia menatapku kesal dengan alis menyatu "tidak bisa, aku bukan malaikat berhati suci, aku manusia normal yang punya emosi, hatiku sangat membencinya sekarang, aku tidak menemukan alasan untuk memaafkannya" Rea mengusap air matanya dengan kasar.

Baiklah aku tidak akan menuntut. Tugasku sebagai teman yang baik hanya sebatas mengingatkan, semua keputusan adalah miliknya.

"tapi Jafin belum menjelaskan alasannya kan, coba kau pahami Dia dan alasannya"

"sebaiknya kau berhenti bicara"

"aku bukan bermaksud membela Jafin, aku hanya ingin membantumu berdamai dengan masalah. Aku tidak mau kau hidup tidak nyaman karena memiliki rasa benci. Lebih baik kau ikhlaskan saja dan agar hatimu lega"

"tidak bisa Faleesha, ini begitu menyakitkan. Kau memintaku memahami Dia apa memangnya Dia mau memahamiku. Dia sendiri bahkan lebih mementingkan lomba dari pada Aku. Aduh jangan pernah kau sebut namanya dihadapanku"

Rea turun dari ranjang, Dia memakai kembali sepatunya dengan kasar "kau mau kemana ?"

"ke kelas. Aku tidak bisa diam disini dan tidak melakukan apapun, otakku terus memikirkan manusia jahat itu. Setidaknya aku harus mengalihkan pikiranku dengan mendengar ceramah guru di kelas"

Ketika Rea mau melangkah pergi, tiba-tiba Dia terhenti dan berbalik padaku. Rea memelukku lagi, kali ini lebih erat

"terimakasih sudah menjadi teman baik. Aku tidak tahu jika tidak ada kau aku akan seperti apa"

Aku mengangguk dan tersenyum, kami berjalan bersama kembali ke kelas.

"kemarin Bara memukul – Jafin" aku sedikit ragu menyebutkan nama Jafin karena Rea tidak suka. "sampai bibirnya berdarah"

"Kau serius ?"

"iya, Bara bilang Dia memukul karena Jafin membuatku menangis- kau tahu aku menangis seketika mendengar ucapan Jafin, aku juga kesal padanya aku tidak membelanya, tapi kurasa alasan sesungguhnya bukan itu. kurasa Bara memiliki rasa peduli padamu"

Rea malah menertawakanku "kalian sudah resmi pacaran kan ?" aku mengangguk "bisa jadi alasannya memang benar itu. Kau tidak perlu membuatku merasa tenang dengan mengatakan Jafin terluka, aku bisa memukulnya sendiri, lebih parah dan kubuang bangkainya di laut lepas"

...........................................................

Who Are U ?Where stories live. Discover now