15. To see the sea and she

151 9 0
                                    

"kau harus ikut Aku ke pantai" ucap Rea terdengar seperti perintah bukan ajakan.

Lagi-lagi Aku hanya bisa menghela napas kasar. Aku sudah bilang tidak bisa sejak Dia mengatakannya pertama kali ketika bel masuk kelas berbunyi setelah istirahat. Tapi Rea tidak berhenti di situ, dia terus membujukku, merayuku, memberikan tawaran menarik dan memaksaku.

Rea bilang, Kita hanya akan menikmati matahari tenggelam lalu pulang. Pantai yang akan Kita kunjungi adalah pantai yang paling dekat dari sini. Menempuh perjalanan kurang lebih satu jam. Aku belum pernah pergi ke tempat yang jauh dengan temanku. Jadi aku merasa takut. Biasanya aku melakukan perjalanan jauh bersama keluargaku, jadi aku merasa aman. Entah kenapa aku merasa seperti anak yang nakal jika pergi sejauh itu tanpa jangkauan orang tuaku.

Bel pulang sekolah berdering. Pertama kalinya aku tidak senang mendengar bel itu berbunyi. Rea pasti akan kembali melontarkan paksaannya. Mau kujawab apa, masak aku bilang aku takut. Takut apa. Dia tidak mengerti apa yang kurasakan.

"apa alasanmu tidak mau ?" tuhkan benar, Rea kembali memaksa.

"itu berbahaya jika kita berdua kesana. Itu jauh dan perjalanan terlalu berbahaya. Aku takut. Jika kau masih memaksa, Kita ajak supirku saja" aku menggigit bibir bawahku. Kuharap Rea mengerti.

"siapa bilang kita hanya berdua ?"

Alis mata kananku naik, apa maksutnya.

"Jafin dan Bara juga ikut" Rea memberikan senyum lebar "apa kau lebih yakin jika bersama mereka ?"

Aku memalingkan wajahku dari Rea. Rasanya aku semakin gelisah. "apa ini akan baik-baik saja ?" tanyaku dengan ragu.

"kalau begitu kita tanya ke mamamu saja. Kau harus mencobanya, pergi bersama teman-temanmu akan memiliki kebahagiaan yang berbeda dengan pergi bersama keluarga"

Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tasku. Aku menekan panggilan ke nomor mamaku.

"tapi jika kau tetap takut dan mamamu tidak mengijinkan ya aku tidak akan memaksa" Rea tersenyum kecut di akhir kalimatnya. Aku tahu dia kecewa jika hal itu terjadi. Mendengar nama Bara entah kenapa membuatku merasa tenang dan ingin ikut tapi disisi lain aku masih takut.

"halo ma"

.........

"apa aku boleh pergi ke pantai ?"

...............

"banyak orang termasuk Rea"

...................

"apa aku tidak salah dengar ? mama mengijinkanku ?"

............................

"tentu aku akan berhati-hati dan menjaga diri ma"

Panggilan kumatikan dan wajah Rea sangat amat bahagia. Lebih bahagia dari apa yang kurasakan sepertinya.

"jadi sekarang kau mau ? tidak perlu dijawab, kau tidak punya alasan untuk menolak" Rea menarik tangan kananku untuk berdiri dan keluar dari kelas. Tanpa sepengetahuan Rea aku juga tersenyum sepanjang jalan menuju parkiran. Aku tidak sabar, seolah aku akan berangkat berpetualang ke dunia luar.

Jafin dan Bara sudah berada diatas motor mereka masing-masing. Jafin juga memiliki motor berwarna hitam besar. Hanya modelnya berbeda dengan milik Bara. Aku tidak tahu tentang otomotif tapi yang jelas dari mataku itu terlihat berbeda.

"kita tunggu satu temanku dulu ya" ucap Jafin ketika kami berdua sampai di dekat mereka.

"siapa ?" tanya Rea.

"Jona" mendengar nama seorang perempuan entah kenapa raut wajah Rea jadi kecewa. Mungkin orang lain tidak menyadari itu tapi disini aku sangat sadar perubahan ekspresi wajahnya. Rea berjalan menjauh dan bersandar di tembok membuka ponselnya. Dia masih berusaha tersenyum meski terlihat kaku.

"Jona siapa ?" tanpa menyapa lebih dulu aku justru menanyakan hal itu kepada Bara. Bara menggelengkan kepala dan mengisyaratkan Dia juga tidak tahu. Aduh, aku tidak berharap hal yang menyakitkan akan terjadi.

Bara menyodorkan helm untukku. "apa kau mengajakku berangkat lebih dulu ? bukankah kita harus menunggu si Jona"

"hanya bersiap-siap saja" aku menerima helm itu dan kubawa mendekati Rea. Aku ingin mengajaknya bicara membicarakan hal lain berharap bisa mengalihkan pikirannya.

Belum sempat aku bicara seseorang perempuan dengan rambut dikuncir kuda berantakan datang menghampiri Jafin. Mereka bersalaman dengan menyatukan kepalan tangan kanan. Jafin dan Jona terlihat akrab. Tapi kurasa Jona sedikit berbeda karakter, maksudku dia memakai sepatu basket, gelang berwarna hitam dan tasnya seperti tas laki-laki. Setelah mengobrol dengan Jafin, Jona menaiki motor yang terparkir di samping motor Jafin. Itu motor laki-laki yang besar. Jona lebih terlihat seperti perempuan yang maco.

Kulirik ekspresi Rea sudah kembali ceria. Mungkin Rea berpikir Jona bukan saingan berat. Dia bisa simpulkan Jona adalah teman Jafin.

Ketika sedang asyik menonton adegan itu, tiba-tiba seorang laki-laki menghampiriku. Dia menyapaku dan memberiku sekotak coklat. Aku tidak mengenal dia dan aku tidak tahu dalam rangka apa dia memberiku ini. Aku memandang Rea untuk meminta pendapatnya apakah Aku harus menerima ini. Kulihat Bara dan Jafin memperhatikan kami. Sepertinya mereka menunggu kami.

"kau bilang kau tidak dekat dengan Bara, jadi kau tidak sedang dekat dengan siapapun kan. Terima saja, jarang-jarang ada yang memberimu coklat" ucap Rea sembari menerima sekotak coklat dari laki-laki itu.

"terimakasih ya, akan kupastikan Faleesha memakan semuanya" ucap Rea lagi dan anak laki-laki itu meninggalkan kami dengan senyum lebar.

Rea memasukkan coklat ke dalam tasku lalu menarik tanganku untuk mendekati Jafin dan Bara. Aku naik di belakang Bara dengan canggung. Aku takut Bara marah, sepertinya sudah terjadi kesalah pahaman. Aku merasa aku sedang dekat dengan Bara tapi aku memang tidak mengakui di depan Rea. Aku hanya memendamnya sendiri. Aku takut Bara kecewa. Kenapa tidak kutolak saja tadi.

Motor kami pun melaju ke jalanan berbaur dengan motor lain. Jafin dan Rea berada di depan lalu di susul Jona dan paling belakang aku dan Bara. Sampai memasuki area yang rimbun pepohonan, Bara belum mengucapkan sepatah kata apapun.

"apa masih jauh ?" aku berniat mencairkan suasana.

"tidak. Sebentar lagi akan sampai" jawab Bara singkat. "jalannya berliku, jika kau takut pegang jaketku, aku akan berhati-hati" ucap Bara lagi.

Benar kata Bara, jalannya berliku dan ini pengalaman pertamaku ke pantai naik motor. Lebih menegangkan. Jantungku berdesir ketika melewati jalanan yang menanjak ditambah berliku tajam. Aku sering memejamkan mata tidak mau melihat jalanan curam itu. Aku meremas jaket Bara tapi suatu ketika aku sangat amat takut membuatku memeluk tubuh Bara. Aku tidak tahu lagi aku benar-benar takut jatuh jika tidak berpegangan erat. Untung saja Bara tidak memprotesku.

"maaf. Ini pertama kalinya aku naik motor seperti ini. Aku takut sekali" itu adalah kalimatku meminta ijin untuk memeluknya.

"kuharap lain kali Kau sudah terbiasa dan tidak takut lagi, jadi Kau bisa menikmati perjalanan diantara pemandangan yang indah"

Akhirnya setelah perjalanan menegangkan kami sampai juga di pantai. Tidak banyak pengunjung yang tersisa. Beberapa orang bergegas untuk pulang.

Ketika turun dari motor aku ingin menyusul Rea, Jafin dan Jona yang sudah lebih dulu mendekati pantai, tapi Bara menahan tanganku.

"Kau masih menganggapku teman biasa ? Kurasa semua sikapku belum jelas menunjukkan kalau – aku menyukaimu ya" Bara melepaskan genggamannya pada tanganku. "Bagaimana caranya agar kau tahu aku menyukaimu" ucap Bara dengan nada rendah dan terdengar kecewa.

.................................................................

Who Are U ?Where stories live. Discover now