40. Jafin

98 8 0
                                    

Aku tidak tahu jenis pertemanan seperti apa yang mereka lakukan. Aku tidak bisa berpikir lagi. Jafin juga tidak menunjukkan dia marah atas perlakuan Bara. Justru sekarang Bara menawarkan tumpangan pulang untuk Jafin. Bukan main anehnya, barusan Bara memukul dengan pukulan yang cukup keras mengenai rahang Jafin sampai mengeluarkan darah tapi setelahnya Jafin menyetujui tawaran Bara untuk diantar pulang.

Aku memijit keningku karena pusing tidak habis pikir dengan kelakuan dua orang aneh ini. Aku masih diselimuti perasaan kecewa tapi aku malah disuguhi adegan aneh ini.

Aku menarik tangan Jafin ketika dia berjalan disamping Bara menuju ke mobil. Jafin memberiku tatapan kesal seolah berkata 'apa lagi ?'

Aku harus bicara dengan tegas "kau katakan sendiri ke Rea dan selesaikan dengan baik"

Aku tidak mau Rea diputus dengan cara seperti ini. Aku takut Rea akan merasa dibuang, atau tidak berharga. Setidaknya hubungan yang dimulai dengan baik juga harus diakhiri dengan cara baik. Aku berharap ketika Jafin mau mengatakan sendiri dan memberikan alasannya maka Rea akan berpikir ini memang keputusan yang harus diambil, ini jalan keluar untuk hubungan mereka. Mereka berdua yang menjalani, mereka berdua yang merasakan dan mereka juga yang tahu bagaimana sebaiknya hubungan ini berakhir. Jafin harus belajar jadi laki-laki bertanggung jawab.

Jafin menghela nafas gusar, kelopak matanya meredup mengalihkan pandangannya dariku. Kurasa dia ragu untuk menyetujui permintaanku. Aku harus memaksanya apapun yang terjadi. Ini demi psikologis Rea. Jafin harus meminta maaf ketika dia mengambil keputusan yang mengecewakan orang lain. Itu caranya menghargai perasaan orang lain.

"kau bisa mengatakannya lebih dulu. Aku akan memberinya penjelasan lebih nanti" jawab Jafin dengan nada yang lemah, bahkan aku hampir tidak bisa mendengarnya.

"nanti ? kapan itu ?"

Jafin tidak langsung menjawab, dia terlihat masih berpikir "setelah lomba"

Aku menggelengkan kepala tidak setuju dengan keputusannya "itu terlalu lama. Kenapa kau menunda ? lebih baik segera selesaikan sekarang juga"

"apa kau yakin jika kukatakan sekarang masalahnya bisa langsung selesai. Jika semakin rumit apa kau bisa bertanggung jawab dengan psikologisku ? apa dengan psikologis tergganggu aku bisa mengikuti lomba dengan baik" Jafin mengatakannya dengan penuh kekesalan, akhirnya dia mengungkapkan sedikit kegelisahan yang dia rasakan. Tapi kurang ajar sekali dia,

"kau mempertanyakan psikologismu tapi kau tidak peduli dengan psikologis Rea ?" aku bertanya dengan menahan amarah. Aku ingin marah lagi.

Jafin hanya menghela napas lagi, Dia tidak menjawabku. Astaga Aku tidak mengerti kenapa Jafin bisa seperti ini.

"Kau terlalu egois, mementingkan dirimu sendiri dan melupakan orang lain" ucapku dengan kesal kemudian berjalan mendahului mereka. Aku masuk ke mobil lebih dulu tanpa adegan romantis yang biasa dilakukan Bara. Aku tidak peduli dengan Bara.

Banyak orang bilang cintai dirimu sendiri, pikirkan dirimu sebelum memikirkan orang lain tapi pahami maksud kalimat itu. Mereka meminta untuk menempatkan diri sendiri di urutan pertama sebelum orang lain bukan mengabaikan orang lain. Sepertinya banyak orang salah paham dengan konsep itu.

Kupikir Jafin akan berubah pikiran dan memilih pulang sendiri tapi nyatanya dia masih masuk ke mobil Bara. Hatiku semakin kesal ketika semobil dengannya. Sangat kesal sampai aku tidak mau melihat wajahnya. Aku bahkan juga kesal harus menghirup udara yang sama dengan Jafin karena Aku berada di satu mobil dengannya.

Bara meraih tanganku, dia mengusapnya dengan lembut "aku akan mengantarmu lebih dulu" aku hanya mengangguk menyetujuinya.

Di tengah perjalanan, Bara memainkan musik pelan dari mobilnya. Setidaknya musik ini mampu memberiku ketenangan ketika aku mengamati jalanan yang ramai sambil melamun. Aku bisa sedikit tenang dan tidak dikuasai emosi lagi. Napasku juga perlahan teratur tidak berdegup kencang seperti ketika marah dengan Jafin tadi.

"apa kau ingin berkunjung kerumahku ?" kepalaku perlahan menoleh ketika Bara mengatakan kalimat itu "aku ingin memperkenalkanmu dengan orang tuaku"

Apa Bara serius, apa secepat ini. Kita baru satu hari resmi berpacaran dan sudah berjalan sejauh itu. Mengenalkan keluarga satu sama lain.

Aku terlalu berlebihan, ini hanya berkenalan bukan lamaran. Tolong sadarkan dirimu Faleesha. Lagipula Bara sudah mengenal mamaku sebelum kami berpacaran jadi memang sudah waktunya jika aku juga harus mengenal orang tua Bara. Bodohnya aku malah berpikir terlalu jauh.

"kau ingin membawanya kerumahmu ? kau yakin ?" ucap Jafin dari kursi penumpang belakang. Dia tampak ragu dan mencoba mengingatkan Bara untuk berhati-hati dalam tindakannya.

"ya Dia sudah tahu siapa Aku" jawab Bara dengan enteng. Berbeda dengan Jafin yang terlihat terkejut sampai memajukan badannya ke tengah kami.

"kau tahu Dia bukan manusia seperti Kita ?" tanya Jafin, lebih tepatnya pertanyaan itu ditujukan padaku. Aku sendiri terkejut dengan pertanyaan Jafin. Aku pikir hanya Aku satu-satunya yang tahu ternyata Jafin juga sudah tahu. Kurasa persahabatan mereka memang sangat dekat. Bahkan lebih dekat dari hubunganku dengan Bara.

Sebenarnya aku malas menjawab Jafin, aku masih kesal padanya. Aku tidak mau bersikap baik dengan orang yang sudah melukai sahabatku. Aku hanya mengangguk tanpa memandang Jafin.

"terserah jika kau masih marah padaku Faleesha, tapi aku memberimu peringatan untuk tidak terkejut dan bersikap berlebihan ketika nanti kau berkunjung ke rumah Bara" ucap Jafin. Itu membuatku terkejut sekaligus penasaran.

Disisi lain Bara memberinya tatapan melotot "kau jangan menakutinya"

"seharusnya kau butuh aku untuk memberimu informasi mengenai Bara, tapi kondisinya kau marah padaku jadi yasudah" Jafin seolah mempermainkan keadaan. Ucapan Jafin memang ada benarnya. Tapi Aku tidak akan goyah dan membiarkan begitu saja urusan Jafin dengan Rea. Itu dua hal yang beda konteks.

"kau licik. Aku tidak akan berhenti marah padamu sebelum Aku memastikan Kau mengatakan sendiri didepan Rea"

"Aku akan mengatakannya tapi tidak sekarang. Apa Kau tidak mengerti kalimat itu ?"

"semakin Kau tunda semakin buruk untuk psikologis Rea. Selama Kau tidak memberinya kejelasan dan terus menghilang begini Rea akan menangis. Kau tidak peduli jika Dia lelah karena menangis, jika Dia sakit karena lelah dan sakit hati, jika pikirannya terganggu karena terus memikirkanmu" Aku sedikit membentak agar Dia paham.

"Kau juga egois Faleesha. Kau hanya memikirkan Rea tanpa peduli Aku. Kurasa jalan terbaik untuk kita berdua adalah dengan bantuanmu. Dengan Kau mengatakannya lebih dulu ke Rea Kau bisa membuatnya sedikit tenang dan mengamankanku untuk sementara waktu dari masalah rumit ini"

Aku tidak mau berdebat lebih dengannya, Aku sudah lelah mengtakan isi kepalaku kepada orang yang tidak mau mengerti. Lebih baik aku diam, Aku ingin segera sampai di rumah dan menenangkan diri.

"sudah jangan menangis. Kalau kau menangis Aku akan pukul dia lagi" Bara mengusap kepalaku. Alih-alih ingin menangis Aku jadi ingin tertawa mendengar ucapan Bara.

"sialan" umpatan Jafin dari kursi belakang membuat pertahananku hancur, Aku tidak bisa menahan untuk tidak tersenyum. Bara berhasil membuatku tersenyum dan air mataku tidak jadi keluar. Aku beruntung memiliki Bara di sampingku.

........................................

Who Are U ?Where stories live. Discover now