PROLOG 🌸

130K 5.8K 525
                                    

ENIGMA
Artian lain; teka-teki, misterius, tidak jelas (ucapannya)

🌸🌸🌸

THRILLER X ANGST ⚠

Sebelumnya, cerita ini akan mengandung banyak kekerasan, gore, blood, hard word, criminal act & mental illness. Mungkin, akan lebih parah dari cerita sebelumnya. Jadi, tolong bijak dalam membaca. Silakan skip jika cerita ini mengganggu kenyamanan kalian. Terimakasih <3

❝Kamu hanya perlu menemukan satu orang pemilik gen psikopat dalam cerita ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamu hanya perlu menemukan satu orang pemilik gen psikopat dalam cerita ini. Hati-hati dalam memilih target, dia paling pandai bersandiwara.❞ —Enigma

***

Author Pov

Dia tidak tahu, sudah berapa jauh kakinya dipaksa untuk berdiri tegak upaya tetap bisa melangkah maju. Tanpa alas kaki, tanpa kehangatan dan tanpa mengeluh, siluet anak kecil berusia enam tahun itu nampak tidak gentar menerobos kelamnya malam. Badannya gemetaran, kedinginan. Gerimis tidak terlalu jahat jika dibandingkan dengan apa yang ia saksikan barusan. Kejadian mengerikan yang akan selamanya menetap di dalam memori kepala, sebagai mimpi buruk paling gila untuk anak lugu seusianya. Benar-benar kelewatan.

Orang gila itu membawa mereka semua, mengumpulkannya dalam satu ruangan asing, kemudian dibiarkan menjerit bersama-sama. Menangis, meraung hingga jatuh tak sadarkan diri. Semuanya terjadi usai hantaman penganiayaan diberikannya pada setiap anak, termasuk pada dirinya sendiri. Ini terlampau keji, dia masih ingat betul bagaimana suara gergaji mesin menderum di sekelilingnya.

Darah bercampur lendir di mana-mana.

Pakaian terkoyak berceceran tak beraturan.

Beberapa potong bagian daging yang sudah teronggok di bawah lantai dengan tega. Dia berani menjamin, orang dewasa saja pasti tidak akan mampu melihatnya. Lalu, bagaimana dengan anak kecil seperti dirinya? Sesak bukan main. Kejiwaannya benar-benar terguncang, menusuk hingga ubun-ubun.

"Ayah, takut ... takut ...."

Anak itu terseok-seok, tenaganya sungguhan terkuras habis tanpa sisa. Hanya ada air mata yang mengalir, menyatu dengan genangan merah yang membasahi sisi kepala sampai lehernya. Ini sakit. Dia hanya anak kecil yang tidak berdaya, luka yang diberikan meremukan seluruh tulang belulangnya. Lutut anak itu mulai bergetar, nampaknya tubuhnya sudah tak mampu lagi dibawa pergi jauh. Rasa takut dan nyeri berkolaborasi menjadi satu sensasi yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Anak itu terisak tertahan. Napasnya sampai tersendat di ujung kerongkongan. Dia tidak bisa berpikir lagi, kepalanya terasa pening luar biasa. Perlahan kepalanya tergerak untuk menengadah, memperhatikan pandangan sekitar yang mulai mengabur. Titik fokusnya benar-benar terbelah tidak karuan.

Ini di mana? Tempat apa? Dia ingin pulang, tetapi tidak tau apa-apa dengan kondisinya sendiri. Bingung harus bagaimana. Dia sendirian, kesepian, kesakitan.

Sadar jika dirinya masih menjadi bahan buruan, pun waktu yang dimilikinya terbatas, anak itu lantas melanjutkan kembali langkahnya yang tidak seberapa kuat itu. Dia harus menemukan pertolongan, masih ada seseorang yang harus selamatkan di sana. Tersisa sendiri—ralat, berdua dengannya—meskipun posisi mereka terpisah sekarang. Pelukan hangat ibu adalah yang ia bayangkan sebagai penyemangatnya agar tetap bertahan.

Dia melintasi jalanan sepi. Namun, konsentrasinya yang hanya tinggal separuh, tidak bisa mengantisipasi keadaan sekitar. Semburat cahaya menyilaukan mata dari samping, bersamaan dengan suara gebrakan yang melengking hebat. Semuanya terjadi begitu kilat, sampai tidak ada waktu untuk mencerna apapun. Anak itu terpental, tepat ketika bagian mobil depan seseorang menghantam tubuh mungilnya.

Daksanya terseret jauh, bergesekan dengan aspal yang mulai terasa panas di permukaan kulit. Anak itu mengejang, disusul dengan cairan merah yang keluar dari hidung dan telinganya. Tubuhnya bukan lagi sekadar ringkih, tetapi sangat memilukan. Siapapun yang menyaksikan pasti akan berteriak ketakutan. Bola mata anak itu bergulir ke samping, dia sempat melihat presensi si pengendara—seorang pria dewasa—turun kemudian menghampirinya.

Namun, itu sama sekali tidak lama.

Seluruhnya terlanjur menggelap, bersamaan dengan kesadarannya yang terenggut paksa. "Aku mau pulang  ...." Sudut mata anak itu mengeluarkan air mata, "ke rumah ...."

.

Hallo, ketemu lagi sama Dipi di cerita yang ke tiga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hallo, ketemu lagi sama Dipi di cerita yang ke tiga. Semoga nggak bosen, hehe 😭 Ini Squel "HEI, BODYGUARD!" berdiri sendiri dan bisa dibaca terpisah.

Meskipun tema-nya serupa, tapi konflik mereka tidak berkaitan. Pemeran utamanya aja udah beda. Kalau di cerita ini ada alur yang kurang kamu mengerti, itu bagian dari teka-teki. Oke? Enigma sama sekali nggak ada sangkut pautnya sama HB 🙌🏻

Oke, deh. Mari meramaikan khasanah dunia persikopetan 2023 🤗 Next ketemu di part satu, ya 🌹

ENIGMA: Last Flower Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang