BAB 19 : Mengalah

28.8K 2.7K 571
                                    

Ini trailer yang dibikin sebelum nulis Enigma. Nitip, ye. Yang belum nonton, intip dulu lah bentar 🤗

***

Author Pov

"Makasih A Dikta buat sepatu barunya. Bagus. Aziel suka," ujar Aziel kepada kakak sepupunya. Anak itu memasang wajah ceria. Dikta yang tengah berjongkok sembari memasangkan sepatu, hanya mengangguk dan tersenyum.

"Anggap aja kado dari Aa buat ulang tahun Aziel bentar lagi." Dikta mendongak untuk bersitatap. "Aziel kepingin sepatu ini dari lama, kan?"

"Iya." Aziel membenarkan. Anak itu senang mengoleksi sepatu. Kebutuhannya selalu terpenuhi. Cucu terakhir yang paling disayangi Mahesa. "Aziel nggak apa-apa kan minta dibeliin sepatu meskipun punya kaki yang lumpuh, A?"

Dikta memaksakan kembali tersenyum. Agak sedih juga mendengarkan penuturan polos adik sepupunya. Sebelah kaki Aziel dinyatakan mengalami keretakan tulang, saat kecelakaan masal liburan kelas 2 SD waktu lalu yang diadakan di sekolah. Aziel hanya kurang beruntung. Dia paling parah sebab kakinya terjepit. "Iya ... nggak apa-apa, kok, Ziel."

Aziel ikut tersenyum senang. "Kalau sembuh, Aziel mau jago main basket kayak Aa Biru," pintanya lugu. "Sama belajar bela diri juga. Teman-teman Aziel pada belajar itu, nanti kalau Aziel sembuh masukin Aziel ke VL-Guard, A."

"Harus dong! Harus sembuh. Ditunggu jadi kapten Basket-nya nanti kalau udah sembuh. Nanti Aa masukin ke VL-Guard juga," balas Dikta. Kemudian lelaki itu teringat sesuatu. "Omong-omong, A Biru mana?"

"Tuh, di kamar terus." Aziel menunjuk dengan dagu yang terangkat. "A Dikta tau nggak?"

Dikta menggedikan kepala. "Apa?"

"A Biru kalau lagi sholat sendirian suka nangis. Nangisnya lama. Sujudnya juga lama," bisik Aziel seolah-olah ucapannya adalah rahasia penting. Dikta terpekur. Mungkin, bagi anak kecil ini adalah kalimat biasa. Tidak baginya.

Selesai dengan Aziel, Dikta memilih menaiki undakan tangga. Melewati kamar Farrel, dan memilih menerobos pintu kamar milik Xabiru. Lelaki itu juga tidak tahu, akhir-akhir ini sering sekali mampir ke rumah Jendra. Untung saja Xabiru tidak satu rumah dengan Mahesa, kakek mereka itu tinggal di penthouse-nya sendiri. Meskipun Dikta tahu, tinggal di rumah Jendra juga tidak membuat keadaan Xabiru lebih baik. Semuanya sama saja. Sama-sama tidak layak.

"Aa?" panggil Dikta usai membuka pintu kamar.

Satu yang didapati Dikta sore kala itu adalah Xabiru yang tengah tertidur—atau mungkin ketiduran? Sebab posisi lelaki itu tidak berada di atas ranjang, tetapi meringkuk di atas kain tempatnya beribadah. Dengan wajah penuh lebam dan pelipis yang sedikit membengkak, Xabiru tertelap. Tidur seraya mendekap mobil mainannya-yang Dikta ketahui, itu adalah mobil mainan pemberian mendiang Adrian.

Kenapa lagi? Apa Dikta telat menjenguk lelaki itu ke sini? Matanya nampak sayu. Xabiru tidak pernah menangis di depan Dikta atau siapapun secara terang-terangan, kecuali ketika bersama Bi Maiza. Pedih dan lukanya ditutup sangat rapat. Sungguh nyaris tidak terendus. Tidak Xabiru perlihatkan, kecuali ia mengizinkan.

"Ta? Dari kapan berdiri di situ?" Xabiru tiba-tiba bangun, membuat lamunan Dikta buyar.

"Enggak, sih. Lo udah makan belum?" tanya Dikta sembari memperhatikan kakak sepupunya melipat kembali sejadah miliknya. "Aa, jangan makan nasi basi lagi."

ENIGMA: Last Flower Where stories live. Discover now