BAB 6 : Not Me

34K 3.3K 734
                                    

Hallo

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hallo... Update lagi, nih. Ramein, ya! 🌹

***

Author Pov

Shea memasuki rumah secara tergesa. Gadis itu telat sekali pulang sore ini. Perdebatannya dengan Xabiru tadi berakhir kalah ketika lelaki itu menawarkan lima belas bungkus permen susu pada Barra, hingga akhirnya Shea tidak mempunyai pilihan selain pasrah digusur. Memang Xabiru itu agak-agak, sengaja saja senang menjadikan Shea cungpret sesuka hati. Padahal sikap Xabiru pada Alea tidak begitu—meskipun sama-sama bawahan Cakrawangsa—hanya Shea yang dibuat depresot oleh lelaki itu.

"Lho, kok elo udah makan?" tanya Shea melihat Haira—adik beda setahun dengannya itu tengah melahap habis kuah mie instan.

"Lo yang kelamaan, kalau gue mati kelaperan gimana? Pergi ke toko kelontong aja kayak lagi musafir ke padang mahsyar," balas Haira dan Shea memberenggut. "Lo darimana, Kak?"

Shea meletakkan keresek belanjaannya di atas meja, kemudian ikut duduk. "Ngejemput dulu Den Aziel. Disuruh sama Xakuning."

"Oh  ...." Haira manggut-manggut. Dia tidak akan protes kalau sudah menyangkut tentang majikan ayah mereka berdua. Sesaat kemudian, gadis itu membeliak kaget. "Heh, lo yang bener dong nyebut namanya! Kak Biru itu atasan Papa, Kak. Kalau misalnya Papa dipecat gegara anaknya asal jeplak manggil nama majikan gimana? Mau lo cariin info loker buat Papa?!"

"Ya ... gimana, ya, Ra. Gini emang kalau punya majikan pas akikahnya pake domba Hago. Tidak berakhlakul kharimah," balas Shea.

"Lo juga sama aja." Haira membalas lempeng. "Lo ketemu sama Alea nggak di sana, Kak?"

"Enggak. Gue nggak masuk rumah, cuman sampe basement terus balik lagi," jawab Shea. Mereka semua memang ajaib. Alea terkadang sarkas saat berdekatan dengan Shea, tetapi sudah bersahabat baik dengan adiknya.

"Oke. Gue mau masak nasinya dulu." Haira berdiri, membawa semua bahan dapur yang dibelikan Shea. "Lo mending ganti baju. Tunggu gue selesai masak, nanti makan bareng Papa."

Shea menurut. Gadis itu berlalu memasuki kamarnya sendiri. Sebelah tangannya tergerak melepaskan cardigan coklat yang ia kenakan, kemudian melempar asal ke sembarang tempat. Memberi jeda tiga detik, atensi Shea terkunci ketika netranya tidak sengaja bersirobok dengan pantulan dirinya sendiri di kaca rias. Shea menyentuh kulit lehernya sendiri, perlahan, memperhatikan bekas luka dalam yang bersarang di sana selama bertahun-tahun.

Jika dibilang bekas cakaran, itu tidak mungkin, ini sangat dalam hingga meninggalkan jejak hitam dan jahitan di sana. Gadis itu bahkan tak ingat mengapa kulit lehernya bisa begini. Shea mengerjapkan mata. Kepalanya pusing sekali saat semburat putih berpendar di matanya. Buru-buru Shea menutupinya dengan handuk.

"Ck, ini bukan apa-apa. Papa bilang cuman kecelakaan aja." Shea bergumam sendiri. Berselang dentuman dua detik, ponselnya menyala. Kening gadis itu mengerut ketika melihat ada grup baru di Whatsapp-nya.

ENIGMA: Last Flower Where stories live. Discover now