BAB 14 : Feelings

28.8K 2.8K 416
                                    

❝Duduk dan memandang batu nisanmu adalah sebuah penyiksaan yang tidak ada batasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Duduk dan memandang batu nisanmu adalah sebuah penyiksaan yang tidak ada batasnya.❞ —Valerian's

***

Author Pov

Masih sangat pagi. Fajar sedikit menyongsong keluar langit, akan tetapi cuaca yang agaknya mendung membuat hari ini terlihat kelabu. Mungkin akan terlihat aneh, melihat lelaki berseragam sekolah sarapan di tempat begini. Pemakaman Umum. Namun, Zayyan memilih abai. Lelaki itu tetap memasuki potongan roti ke dalam mulutnya seraya memperhatikan langit yang mulai menerang sedikit demi sedikit.

"Gue numpang sarapan bentar. Masih jauh ke jam masuk," kata lelaki itu meminta izin.

Zayyan makan untuk bertahan hidup, bukan terganggu karena kelaparan. Setiap hari sudah ada jadwal tertentu, kadang-kadang ia suka lupa memang. Pernah bablas tidak minum seharian, berakhir dirinya yang dehidrasi.

Pandangan Zayyan turun ke bawah, menatap pusara lama itu dengan raut wajah sendu. Kilasan ketika Zayyan menemukan dokumen RSJ milik ibunya kembali terbesit di benak. Meskipun ia tidak terlalu paham dengan apa yang terjadi di masa lampau, tetapi Zayyan tau alasan Ibunya bisa masuk ke bangunan itu.

"Kemarin Nda masuk ke kamar lo, tapi Nda tetep mikir kalau itu kamar lama gue." Zayyan menghela napas pendek, kemudian melirih. "Bunda ... serusak itu kalau lo mau tau."

Kunyahan roti di mulutnya kian memelan, pusat perhatian Zayyan tertuju pada bungkus roti tersebut. Dulu, mereka sering berbagi, saling memberi, saling menyuapi. Sekarang Zayyan memakan ini hanya bisa sendirian.

Zayyan tidak pernah tau bagaimana rasanya roti selai ini, di atas permukaan lidahnya semua terasa sama. Tidak ada yang istimewa, sungguh. Zayyan baru bisa mengerti arti nikmat, ketika makan bersama-sama dengan dia. Meskipun tetap hambar, tetapi memiliki kesan mahal. Bahu lelaki itu merendah. Definisi patah hati adalah ketika tangan yang sering memberi Zayyan uluran, tidak lagi ada di depan mata.

Dia yang selalu menghampirinya lebih dulu, menawari jenis apapun makanan yang sehat agar bisa masuk ke dalam perutnya, salah satu yang Zayyan temukan sebagai definisi saudara sesungguhnya. Lelaki itu menunduk, remasan tangannya menguat pada bungkusan roti itu.

"Do'ain gue mampu memperpanjang masa untuk Bunda. Seenggaknya kalau lo gagal ... adek lo ini berhasil, Kak. Gue nggak mau kalah sama CIPA. Nggak mau," gumam Zayyan.

Dari arah belakang, Rayyan memperhatikan lelaki itu dari kejauhan. Seperti manusia tanpa emosi, pria itu sama sekali tidak berekspresi apa-apa. Rayyan pergi begitu saja tepat ketika Zayyan menoleh. "Zayn, maafin Ayah ...."

—oOo—

"ASTAGFIRULLAH!!! SILUMAN IKAN KEPE-KEPE MONYONG DARIMANA INI??" teriak Barra.

Artikulasi terdengar jelas, intonasi sempurna, ekspresi-nya sangat mendalami, hujatan lelaki itu juga sudah mantap, tinggal sumpal mulut si Barra ini menggunakan sanggul Jarjit kemudian dorong di atas Menara Saidah. Sialan memang, kurang ajar Barra mengatainya begitu. Padahal baru seminggu dianggap anak, tapi Barra sudah bersikap durhaka pada Shea. Didikan siapa, sih!

ENIGMA: Last Flower Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang