SoH - 9. Journey for Revenge (2)

455 58 0
                                    

Entah sejak kapan, Ryu tidak pernah mengalami jet lag lagi ketika bepergian melintasi benua dengan jet pribadinya. Perjalanan beribu-beribu mil jauhnya seolah menjadi hal biasa untuknya. Seakan hal itu sama mudahnya dengan menelan air masuk ke dalam kerongkongannya.

Ryu menapakkan kakinya di landasan dengan mantap. Mata biru langitnya menatap tajam sekitar. Mempelajari setiap hal yang memungkinkannya untuk memenangkan hati penguasa kota tempat Burj Khalifa berdiri.

Beberapa orang berseragam formal segera berdatangan menghampiri Ryu di landasan.

"Tuan Ryu Isaiah?" tanya salah seorang berseragam formal itu dengan aksen Inggris yang lumayan lancar.

"Ya," jawab Ryu datar.

Mereka serempak membungkuk pelan pada Ryu. "Maaf membuat Anda menunggu. Mari, Tuan Amin sudah menunggu Anda."

Ryu mengangguk dan mengikuti langkah orang-orang berseragam formal itu.

Di sepanjang perjalanan menuju Burj Khalifa, pikiran Ryu menerawang entah ke mana. Sebenarnya Dubai bukanlah negara yang ingin ia kunjungi, ada kenangan menyakitkan berkaitan dengan Dubai. Dulu, Ryu sempat merencanakan untuk berkeliling ke tempat-tempat eksotik di bumi bersama Freya. Salah satunya di Dubai. Ryu ingin menunjukkan bangunan tertinggi yang bisa dibuat oleh tangan-tangan manusia.

Namun, ketika kebakaran sialan di rumah sakit itu menewaskan Freya, rencana-rencana romantis yang sudah dirancang matang-matang oleh Ryu ikut hangus terbakar dan menjadi abu yang kemudian menghilang di dalam sapuan angin kepedihan. Tempat-tempat itu menjadi tempat terkutuk untuk Ryu. Sebab, hanya dengan melihatnya, Ryu secara otomatis teringat akan kenangan manis yang harusnya dibuat bersama-sama dengan Freya--dan buah cinta mereka.

Seketika Ryu dirundung oleh kerinduan menyesakkan yang menghimpit dadanya. Oksigen yang berada di paru-parunya menipis secara tiba-tiba. Kemudian, dunia terasa hancur perlahan di bawah kakinya.

"Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya supir yang mengantar Ryu.

Ryu memegangi dadanya yang kesakitan. Wajah menawannya tampak pucat. "Ya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lanjutkan saja tugasmu. Antarkan aku ke Mr. Amin."

Si sopir tampak ragu, namun melihat Ryu yang bersikeras, ia memutuskan untuk tetap menyetir.

Ryu mengembuskan napas panjang. Untunglah si sopir mendengarkannya. Ia tidak bisa mengacaukan pertemuannya dengan Amin. Tinggal selangkah lagi untuk rencananya.

Menyandarkan punggung di kursi mobil, Ryu mencoba mengatur napasnya agar kembali stabil. Memaksa paru-parunya untuk menampung oksigen agar jantungnya dapat mengedarkannya ke seluruh tubuh.

Ilusi Freya yang hanya terlihat bagi Ryu, tampak panik setengah mati melihat Ryu yang tiba-tiba terpuruk.

"Kau tidak baik-baik saja! Kau harus istirahat! Sudah kubilang padamu untuk menghentikan rencana balas dendammu yang tidak masuk akal ini. Ya Tuhan, Ryu, aku tidak ingin melihatmu kesakitan. Aku tidak bisa menahannya ... kumohon hentikan ...."

Ilusi Freya terisak-isak di samping Ryu, sementara Ryu tersenyum pedih. Ryu ingin membalas semua perkataan ilusi itu, tapi ia tidak dalam situasi yang mendukung, apalagi ada orang lain. Jadi, alih-alih menanggapi ilusinya, Ryu memilih untuk memejamkan matanya kembali.

---**---

"Proposal yang kau ajukan sangat profitable, menarik, dan dikemas dengan ide-ide inovatif yang menyegarkan. Sulit mempercayai kalau yang mengajukannya adalah pria semuda dirimu." Amin memandangi proposal Ryu sambil bersungut-sungut kagum.

Ryu masih memilih untuk tenang dan mendengarkan. Mengingat Amin adalah orang yang cukup selektif dan juga cermat.

"Tidak ada alasan bagiku untuk menolak ide mengangumkan seperti ini," sambung Amin, "tapi aku lumayan penasaran, apakah keberhasilanmu meraih tender Louis Bowman dan juga kekuasaan di belahan bumi Timur serta benua Eropa tidak cukup untuk memuaskan hasrat pewaris Isaiah?" Amin membiarkan bahunya bersandar di kursi, mata raven-nya menelitik Ryu dengan tajam. "Atau--kau punya tujuan yang sama sekali berbeda? Sebelumnya, maafkan aku karena bertanya sedetail itu--kau tahu, aku pengusaha, dan perjalananku untuk mencapainya tidaklah mudah. Jadi, penting bagiku untuk mengetahui dengan pasti siapa mitra bisnisku."

Sudut bibir Ryu terangkat sebelah. Dugaannya tepat. Cepat atau lambat, Amin pasti akan menanyakannya.

"Apakah jawabanku mempengaruhi keputusanmu nanti?" tanya Ryu.

Amin mendengus. "Tentu saja. Maka, jawablah dengan bijak."

Ryu menegakkan tubuhnya. Menatap Amin dengan tajam dan penuh kehati-hatian.

"Aku harus menghancurkan seseorang," Ryu menyeringai, "aku harus memastikan dia tidak bisa bangkit lagi. Dan aku akan mencapainya tanpa menggunakan cara-cara licik seperti yang dilakukannya. Aku akan mematahkan kesombongannya, mencabik-cabik kearoganannya, dan menghinanya. Untuk itu, aku butuh semua hal hingga tidak ada lagi yang tersisa untuknya. Ini bukan tentang keserakahan, tapi caraku menunjukkan pada orang itu betapa sia-sianya dia menempuh cara-cara kotor untuk mewujudkannya, padahal jika ia cukup pandai, hal itu sungguh tidak diperlukan. Tentunya Anda lebih mengerti hal itu daripada aku, Tuan Amin."

Amin tersenyum. Tentu saja. Amin bukanlah anak yang terlahir dengan sendok emas. Semua yang dimilikinya saat ini adalah hasil keringat dan darahnya. Dengan kegigihan dan ketabahan yang luas, Amin merintis usaha konstruksi dan real estatenya dari sebuah bengkel kecil hingga menjadi bangunan elit yang tersebar di mana-mana. Amin sangat bangga akan jerih payahnya itu.

Membangun usahanya dari nol membuat Amin merasakan banyak asam garam kehidupan yang keras. Ia menjadi lebih peka dan mudah menganalisis karakter seseorang.

Amin mengubah posisi duduknya. Ia cukup terkesan dengan jawaban Ryu. Lalu ia mulai mempelajari si cassanova biru yang terlihat kurang waras untuknya. Pria itu--Ryu, jelas terganggu kejiwaannya. Namun, alih-alih menjadi gila, ia memilih cara lain untuk menjalani hidup. Amin penasaran, apa alasan Ryu hingga menjadi seperti itu dan bagaimana caranya membalas dendam dengan cara yang sangat lurus.

Sudut-sudut bibir Amir terangkat. Melengkung membentuk sebuah sebuah senyuman dengan tangan menopang dagunya.

"Aku setuju. Kapan kita bisa mulai kerjasamanya?"

---**---

To be Continued.

Click Vote and Leave your Comment 😉
Thanks for reading
Thanks for your voment and your support until now 😊
Stay Tune!

Secret of Heart - RevealedWhere stories live. Discover now