SoH - 33. Sudden Attack (3)

210 16 0
                                    

Saphira buru-buru mengelap darah yang mengucur dari hidungnya. Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan saudarinya yang tumbang akibat efek samping pil stimulan. Jika Lee mengetahui kondisi tubuhnya sekarang, kekhawatiran pria itu akan menghambatnya dari apapun yang hendak ia lakukan.

"Kerja bagus," puji Lee seraya menepuk ringan kepala Saphira.

Saphira balas tersenyum kecil sambil memaksa tubuhnya yang mulai kehilangan kekuatan untuk bergerak. Ia mencoba bangkit dan menyambut uluran tangan Lee, namun tiba-tiba di satu titik di bagian kepalanya terasa sakit luar biasa.

Di akhir rasa sakit yang muncul itu, terasa sebuah aliran dari hidungnya. Saphira menyeka hidungnya dan mendapati darah berceceran di jemarinya.

Sebelum kehilangan orientasi sepenuhnya, Saphira menyaksikan raut wajah Lee yang menjadi pucat pasi dan penuh kekhawatiran.

"Tidak ... Freya ..." kata Saphira lemah sebelum tumbang.

Sekali lagi, Lee menangkap Saphira tepat sebelum jatuh membentur lantai.

---**---

"Monster," kata seorang pria dengan gemetaran.

Ia tidak pernah mengira menatap warna biru langit di siang hari yang cerah akan begitu menakutkan. Namun saat ini, warna yang sama yang mewarnai mata seorang pria yang berdiri tegak di hadapannya layaknya mesin pembunuh, terus mengingatkannya akan kematian yang semakin dekat.

Pria itu semakin dekat dengan dirinya. Menumbangkan rekannya satu per satu menggunakan tangan kosong dengan mudahnya. Pria itu terus tersenyum, senyum yang sangat mengerikan.

Para pria yang bersetelan militer lengkap itu hanya bisa gemetar ketakutan di hadapan dua pria tanpa perlengkapan apa pun.

Sejak pertama menerima misi dari William mereka yakin dapat menyelesaikannya dengan mudah. Bagaimana tidak? Mereka hanya perlu menghabisi orang kaya yang tidak bersenjata dan menculik seorang wanita atau anak-anak untuk dijadikan sandera. Mudah bukan? Apalagi William memfasilitasi mereka dengan peralatan nanoteknologi lengkap. Peralatan dengan teknologi yang paling efisien namun juga mematikan.

Jadi di mana letak salahnya? Sejak kapan kesalahan itu dimulai? Atau William sejak awal menipu mereka? Mungkinkah?

Tidak. Mereka telah bertahun-tahun mengerjakan pekerjaan kotor dari William, pria tua itu selalu serius dengan misi yang diberikannya.

Baik sembilan tahun yang lalu maupun waktu yg lebih jauh lagi. Semuanya berjalan sangat mudah.

BUKK!

Pria itu menerima hantaman dengan telak. Kemudian tidak sadarkan diri.

"Maju kalian bajingan," kata pemilik netra biru langit yang dipenuhi nafsu membunuh. Ia mengusap darah dari punggung tangannya.

Rekan-rekan dari pria yang baru saja ditumbangkan itu meragu. Tidak pernah terbesit dalam benak mereka ada orang yang sanggup bertahan dan menyerang balik pasukan khusus yang dilengkapi peralatan nanoteknologi.

Tidak ada kata yang lebih tepat daripada kata 'monster' untuk menggambarkan pria itu. Manusia mana yang sanggup menumbangkan mereka dengan tangan kosong?

Pria itu berkacak pinggang. "Tidak ada?" Ia memperhatikan semua pria berpakaian militer itu satu per satu. Kemudian tersenyum dengan ganjil, "Baiklah. Biar aku saja."

Pria itu memberi aba-aba pada pria di belakangnya, kemudian mulai melayangkan pukulan tanpa belas kasihannya kepada orang yang tersisa.

Orang-orang suruhan William itu tidak berdaya melawan Ryu dan Bam yang mengamuk. Kini mereka hanya menunggu giliran hingga para monster itu menghabisi mereka.

Seakan hal itu belum cukup untuk membuat mereka menderita, suara dari maut yang lain terdengar.

"All troops drop your nano suit!"

Vonis kematian mereka telah diputuskan. Bersamaan dengan berakhirnya peringatan itu, para pembunuh bayaran itu merasakan tubuhnya terkoyak.

Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah berteriak layaknya hewan sekarat yang disiksa dengan keji. Penderitaan itu berakhir ketika mereka kehilangan kesadaran akibat tidak mampu menahan rasa sakit yang tidak tertahankan itu.

Ryu dan Bam yang menyaksikan pemandangan itu hanya bertanya-tanya untuk sesaat.

Saphira.

Dialah jawabannya. Satu-satunya orang yang terpikirkan menjadi dalang dari pemandangan mengerikan ini. Seseorang yang mampu memberikan rasa sakit luar biasa tanpa menggunakan tangannya secara langsung.

Sekarang setelah pria-pria itu telah kehilangan kesadaran, Ryu terdiam. Ia menyisir naik rambutnya dengan jari, berpikir bagaimana menyalurkan kemarahannya yang semakin berkobar dan mulai tidak terkendali.

Pikiran Ryu teralih ketika suara derap langkah halus terdengar mendekatinya. Masih dengan tatapan haus darahnya, Ryu menoleh ke sumber suara.

Netra biru langit itu menangkap sosok dengan surai merah jahe yang tergerai sedikit berantakan. Pipi yang diingatnya merona dengan cantik ketika Ryu mencintainya kini dihiasi lebam-lebam yang mulai berubah ungu. Tatapan tidak tergoyahkan dari netra ungu antik itu kini bersinar penuh ketakutan dan keputusan asaan.

Dia hendak mengatakan sesuatu, namun tampaknya apapun yang telah dialami wanita itu membuatnya tumbang dan kehilangan kesadaran.

Dua pria kecil yang mengikuti wanita dari belakang berusaha menangkap sang ibu. Namun tangan pendek mereka tidak mampu meraihnya. Untungnya Ryu dan kaki panjangnya bereaksi dengan cepat dan menangkap wanita itu.

Ryu amat sangat murka. Ia sangat membenci apa yang dilihatnya barusan. Ia telah melihatnya ribuan kali dalam mimpi dan halusinasinya. Namun melihatnya secara nyata membuatnya lebih terguncang. Apakah ini hukumannya karena membiarkan kesedihan dan dendam menguasainya? Atau Tuhan sangat membencinya hingga Dia menyiksa dirinya dengan membuatnya menyaksikan tatapan sedih Freya yang menyayat-nyayat itu secara nyata?

"Mereka harus mati," gumam Ryu dengan nada suara yang sangat menakutkan. "Akan kubunuh mereka semua," pungkasnya seraya menatap para pembunuh bayaran itu satu per satu.

"Mereka menculik Lyra," cetus Louine dengan mata berkaca-kaca. "Mama meminum pilnya untuk melindungi kami."

Tatapan Ryu beralih ke pemilik suara kecil itu. Butuh beberapa saat hingga tatapan haus darah yang berkobar di netra biru langit itu untuk padam. Melihat wajahnya dan Freya yang tergambar dalam Lucas dan Louine menyadarkan Ryu bahwa yang merasakan neraka penderitaan ini bukan hanya dirinya.

Ryu merentangkan sebelah kanannya. Kedua anak lelaki itu segera menyambutnya dan ikut menghambur dalam dekapan Ryu.

"Kalau saja kami lebih kuat. Kalau saja kami lebih dewasa," kata Lucas tersedu-sedu. Ryu bisa merasakan airmata dari kedua putranya membasahi kemejanya.

Ryu menggelengkan kepala, "Tidak. Akulah yang bersalah. Tidak ada yang berubah. Akulah yang tidak berguna. Baik sembilan tahun yang lalu maupun saat ini aku tidak mampu melindungi kalian."

Haruskah mulai sekarang aku mengabaikan ucapan Freya dan menguncinya di suatu tempat saja? batin Ryu.

Louine dan Lucas menatap Ryu sambil mengerutkan kening, seolah mampu membaca ide obsesif Ryu. Tanpa rasa bersalah, Ryu membalas tatapan kedua putranya dengan senyum yang sama sekali tidak cocok untuk situasi saat ini.

"Maaf mengganggu waktumu," sela Bam. "Merlin ingin berbicara denganmu."

Ryu menyeringai. Akhirnya ia menemukan sasaran untuk meluapkan kemarahannya.

"Sampaikan padanya aku akan segera menemuinya."

---**---

To be Continued.

If you liked this chapter, please consider to give a vote 😉
Thanks for reading, your voment, and your support until now 😊
Stay tune!

Sincerely,

Nina.

Secret of Heart - RevealedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang