SoH - 21. Twisted

414 39 9
                                    

Asap hitam membumbung tinggi ke langit. Menutupi sebagian selimut biru sang cakrawala. Si jago merah, sang sumber, sibuk menjilati bangunan dengan lidah apinya. Melahap bagian demi bagian hingga hanya menyisakan abu dan arang.

Teriakan, tangisan putus asa, dan ekspresi ketakutan mulai menghinggapi setiap korban maupun orang sekitar ketika puluhan mobil pemadam kebakaran telah diturunkan namun tidak ada perubahan yang berarti. Mereka dipaksa menyaksikan segalanya dilahap sang api tanpa belas kasihan.

Dalam keadaan kacau itu, seorang pria tampak melewati kerumunan dan mendekati gedung yang sedang terbakar. Sesekali bahunya tersenggol petugas pemadam kebakaran yang sedang mengevakuasi. Teguran halus hingga kasar dilontarkan oleh orang-orang pada pria itu. Namun, ia tetap terpaku dan menatap api dengan tatapan kosong.

Pada akhirnya, ia kehilangan kekuatan untuk berdiri. Seluruh tubuhnya tidak kuasa menghadapi kenyataan yang satu ini.

Kenyataan bahwa ia harus kehilangan orang yang berharga untuknya sekali lagi.

Tusukan kerikil pada tubuhnya tidak berarti. Seluruh syarafnya mati rasa, kecuali syaraf yang bertanggung jawab atas rasa sakit di hatinya.

Ia bertanya-tanya mengapa dunia kejam sekali padanya. Dari semua kemalangan yang ada, mengapa ia harus menyaksikan pemandangan yang sama seperti sembilan tahun yang lalu.

Dari kejauhan, pria itu menangkap sosok yang dikenalnya. Berbeda dengan sembilan tahun yang lalu, kali ini ia berdiri dengan tegak dan tanpa luka, bukan terbaring lemah di kasur darurat dengan luka di sekujur tubuh.

Sosok itu tampak tidak lebih baik darinya, penuh kekhawatiran, ketakutan, dan kengerian.

Di belakang sosok itu, tampak beberapa pria asing mengikutinya, mereka memasukkan tangan ke dalam saku jas.

"Tidak! Bam!" teriak pria itu dengan sekuat tenaga. Ia berusaha bangkit untuk menghampiri Bam.

Ketika tubuh kakunya mulai merespon perintah otaknya dibanding menuruti rasa sakitnya, sesuatu menghantam tubuhnya dengan keras. Memaksa kesadarannya hilang secara perlahan, dan menyiksanya dengan memperlihatkan pemandangan sekumpulan pria asing yang berusaha menumbangkan Bam dengan peralatan aneh mereka.

"It's over, Raka," kata sebuah suara sebelum kegelapan pekat menelan Raka sepenuhnya.

---**---

Segera setelah Blaire menarik pelatuk pistol, bunyi dari selosong peluru yang terlepas mengiringi dorongan proyektil dan melesatkan peluru. Ryu dapat merasakan timah panas itu melesat ke arahnya. Gesekan antara peluru dan udara terasa begitu kentara. Tepat melewati wajah Ryu.

Kenapa?

Masih bergeming, Ryu semakin merasa instingnya benar. Sekarang ia benar-benar takut, dan ia tidak akan membiarkan Blaire mengetahuinya. Tidak jika ia ingin mencapai tujuannya.

"Aku sudah banyak melihat orang yang menginginkan kematian, namun ketika hal itu datang, mereka memohon-mohon untuk hidup, konyol bukan?" kata Blaire tanpa menurunkan pistolnya, "jadi, mengapa kau hanya diam di sana?"

Ryu tersenyum meremehkan, "Lalu, apa yang menghentikanmu? Kau berharap aku bagaimana?"

Blaire mengamati Ryu dengan saksama, berharap menemukan sedikit keraguan dalam netra biru itu. Namun, ia segera menyadari bahwa memang tidak ada kemungkinan keinginan hidup darinya. Blaire memundurkan tubuhnya, kemudian melemparkan pistolnya ke lantai.

"Kau berniat mati?" sorot mata Blaire tampak sedih, Ryu berusaha mati-matian menahan emosinya dan tetap tegar menghadapi Blaire dengan ekspresi bajanya.

"Jika kau sudah tidak memiliki rasa takut akan kematian sama sekali," Blaire mengusap pipinya, dari gestur yang dilakukannya, ia seperti berniat mencopot sesuatu dari wajahnya, "maka akan kuberikan satu alasan untukmu merasa begitu."

Dengan hati-hati, Blaire menarik kulit wajahnya mulai dari rahang kanan hingga terlepas seutuhnya. Di balik lembaran kulit itu, terlihat logam mini yang tampak seperti microchip. Blaire melepaskan benda itu tanpa ragu dan segera beralih pada bagian lainnya.

Jari jemarinya terarah ke netra hazel yang tidak berkedip menatap Ryu, mengusap kornea mata dengan halus dan memperlihatkan netra ungu antik ketika selaput tipis yang menyerupai kornea mata terlepas. Kemudian ia melakukan hal yang sama pada mata satunya dan memastikan pandangannya terkunci pada Ryu dan begitu pula sebaliknya.

Terakhir, ia meraba-raba pangkal rambut yang tumbuh disekitar wajahnya sebelum mencopot surai cokelatnya dan membiarkan surai baru berwarna merah jahe melambai-lambai dengan elegan.

Blaire tahu sudah tidak ada jalan untuk kembali baginya jika ia melakukan hal ini. Namun, baginya tidak ada yang lebih penting daripada keselamatan pria yang kini menatapnya sambil ternganga.

"Ryu," panggil Blaire.

Suara yang keluar dari bibir merah muda itu sangat berbeda dari yang didengar Ryu selama ini, namun sangat familiar dengan yang didengarnya bertahun-tahun yang lalu.

Itu adalah suara yang seumur hidup tidak akan pernah Ryu lupakan. Suara-suara yang terus muncul dalam mimpi maupun imajinasi sintingnya.

Suara dari pemilik sumber dunianya.

Freya.

---**---

To be Continued

If you liked this chapter, please consider to give a vote 😉
Thanks for reading, your voment, and your support until now 😊
Stay tune!

Sincerely,

Nina.

Secret of Heart - RevealedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang